| Chapter 3 |
“Kami akan pikir-pikir dulu.” Balasan dari Rajit membuat yang lain memasang senyum teramat kaku. “Jadwal kuliah dan tugas-tugas kuliah kami sepertinya bisa menjadi jawaban atas pertanyaan Bapak. Tapi, sesuai perkataan saya tadi, kami akan memikirkan permintaan itu dahulu.”
Gean mengangguk setuju. “Betul, Pak. Biarkan kami menimbang-nimbang dulu sebelum menjawab,” katanya menambahkan.
“Baiklah, saya akan menunggu,” ucap Pak Presiden. Ia menganggap permintaan mereka itu wajar, karena masalah yang terjadi ini lumayan menyusahkan.
“Saya boleh tanya sesuatu?” Rajit menegakkan tubuhnya. Sambil tersenyum hangat, Pak Presiden menganggukkan kepala. “Uhm, kira-kira apa benefit yang kami dapatkan kalau kami setuju untuk membantu?”
Senyum Pak Presiden makin mengembang. “Benefit, ya? Apa yang kalian inginkan?” tanyanya balik. “Saya akan mengabulkan apa pun keinginan kalian, asalkan itu tidak keinginan yang aneh-aneh.”
Seketika Gean berbinar. “Apa... pun?”
“Iya, apa pun itu. Tapi, kalian harus bisa menemukan buku itu.”
“Baik, kami akan pikir-pikir lagi,” ujar Rajit.
Pak Presiden tampak mengecek jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Lalu, kembali menatap pada tamu-tamunya. “Kalau begitu, apa kalian mau makan siang bersama saya di sini?”
Lagi-lagi mereka dibuat terkejut dengan tawaran yang keluar dari mulut Pak Presiden. Mereka bertukar tatap, seolah menanyakan pertanyaan yang sama lewat mata masing-masing.
“Sepertinya kami akan menolak tawaran itu.” Kini Caya yang menjawab. “Maaf, Pak, kami ada sesuatu yang harus diurus. Mungkin lain kali kami akan menyanggupinya. Sekali lagi, maaf, Pak.”
“Tidak apa-apa. Saya tidak memaksa, kok.”
Sebelum Pak Presiden memberi tawaran yang mengejutkan lagi, mereka berempat pamit. Sebenarnya mereka menolak saat Pak Presiden ingin mengantar sampai teras Istana. Namun, akhirnya mereka diantar juga. Kata Pak Presiden, mereka itu tamu di tempat ini, jadi harus dihormati dan diberi pelayanan yang baik.
“Motor gue!” Tiba-tiba Gean teringat motor hitamnya—Darkie. Si hitam manis itu masih ada di pelantaran parkir mall! Tadi ‘kan dia dan Caya dibawa paksa oleh tiga orang seram, jadi tak sengaja meninggalkan si Darkie.
Panik mulai menyerang dirinya. Gean mengusak rambut. Ketika mereka sampai di teras, Rajit menangkap kepanikan Gean dan bertanya dengan nada agak ketus. Kemudian, Gean menjawab, “Si Darkie masih di parkiran mall! Gimana kalau dia hilang? Dia ‘kan kesayangan gue!”
Caya pun baru ingat si Darkie begitu Gean membicarakannya. Namun, sebelum ada yang bersuara lagi, muncul suara mesin dari arah gerbang utama. Tampak mobil bak terbuka yang memasuki halaman Istana dengan kecepatan pelan.
Hingga akhirnya mobil itu berhenti tepat di depan mereka. Sang sopir membuka jendela di sebelahnya, lalu agak menundukkan kepalanya pada Pak Presiden. Perhatian semuanya teralihkan pada sesuatu yang diangkut oleh mobil tersebut. Si Darkie. Berdiri sendirian di sana dengan beberapa tali hitam yang mengikat badan penuh mesinnya.
Gean langsung bernapas lega. Tetapi, kelegaan itu tak berlangsung lama. Sebab, ada satu pertanyaan yang muncul secara mendadak di benaknya. Tangan kanannya merogoh saku celana. Mengeluarkan sebuah kunci dengan tali berwarna hitam bergaris-garis merah dan penanda kecil berbentuk persegi panjang kecil yang bertuliskan “Darkie-va”.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost History; S-156 [Book 2]✔
FantasiHilangnya Buku S-156 dari Istana membuat mereka kembali mengalami petualangan gila untuk yang kedua kalinya. |•| [The Lost Series; Book 2 : S-156] Misi untuk menemukan buku yang hilang malah membuat Caya dan teman-temannya bertemu dengan satu makhl...