B. Empat - 3 : 1

101 21 1
                                    

| Chapter 4 |

Sambil mengantongi sebelah tangan ke saku, Rajit berjalan masuk. Ia habis dari halaman rumah. Tadinya ingin menyaksikan sang bintang dan sang bulan di luasnya karpet hitam, tapi kedua benda cantik itu sedang tidak ingin menampakkan dirinya.

Matanya fokus pada ponsel yang digenggam erat di tangan kiri. Grup buatan si Alay Gean terus-menerus menampilkan isi pesan. Kalau saja topiknya tidak penting, pasti sudah dibisukan grup itu agar tidak mengganggu.

“Eh, Bang, tolong ambilin tisu itu, dong.”

Rajit menoleh ke sumber suara. Di ruang tamu, ada Ayahnya yang tengah sibuk dengan alat-alat kesayangannya—kamera. Beberapa kamera berderet di atas meja. Itu belum seberapa. Orang lain akan melongo kalau tahu berapa banyak koleksi kamera milik Ayahnya di lemari kaca yang ada di dalam kamar.

“Ini,” kata Rajit sembari memberikan kotak tisu yang baru diambilnya dari samping TV. “Udah waktunya bersih-bersih, Yah?”

Ayahnya, Sarif, mengangguk. Walaupun begitu, matanya tak lepas dari lensa kamera yang sedang ia bersihkan. “Tidur sana, udah malem.”

“Masih jam delapan, Yah. Ini, sih, waktunya anak gadis buat tidur,” balas Rajit diakhiri kekehan kecil.

Setelah melakukan candaan ringan bersama Ayahnya, Rajit lanjut berjalan. Dan kini langkahnya berhenti di dekat meja makan. Rajit hampir saja tertawa saat melihat Raiva tampak berantakan dengan sereal yang tumpah ke mana-mana.

Rajit memilih duduk di kursi yang berhadapan dengan Raiva. Sejenak tatapannya mengarah pada Ibunya yang sedang sibuk menonton acara masak di dapur melalui ponsel. Ibunya—Lina—sepertinya belum sadar kalau anak gadisnya sudah membuat meja makan berantakan dengan sereal serta susu.

“Nanti kalau udah selesai, langsung diberesin, ya? Jangan bikin Ibu capek.” Rajit mengingatkan adiknya. Raiva hanya mengangguk, lalu kembali memasukkan sendok berisi sereal cokelatnya ke dalam mulut.

Raiva mengusap mulutnya menggunakan punggung tangan. Dan dengan mulut yang masih mengunyah, dia berkata, “Bang, ajak Kak Mala main ke sini lagi, dong. Tau nggak, dia itu pinter banget main lompat tali. Rai aja sampai kewalahan pas hitung dia lompat.”

Atas kalimat itu, Rajit terdiam. Tiba-tiba saja teringat aksinya siang tadi yang bisa dibilang tidak sesuai dengan dirinya. Tapi, berkat aksi itu juga, Mala jadi tidak marah lagi padanya. Malah baru saja mengirimi pesan yang berisi pertanyaan; sudah makan atau belum?

“Nggak bisa dalam waktu dekat. Abang dan Kak Mala sama-sama sibuk. Mungkin nanti dia bakal main ke sini lagi,” jawab Rajit. Diusapnya puncak kepala Raiva dengan gemas. “Udah, ya, Abang ke kamar dulu. Habisin serealnya, jangan buang-buang makanan.”

“Oke!”

Rajit tak menyangka Raiva tumbuh secepat itu. Dulu, Raiva akan minta digendong kalau habis diledeki oleh dua abangnya yang lain. Namun, kini, gadis manis itu hanya mengadu dan jarang menangis. Rasanya seperti waktu berjalan dengan sangat cepat. Bahkan Rajit tak menyangka hubungannya dan Mala terus berlanjut hingga detik ini.

Langkahnya terhenti lagi saat telinga pekanya mendengar suara bising dari kamar adiknya. Pintu dengan papan bulat bertuliskan “Orang Jelek Dilarang Masuk!” itu ditatap Rajit lekat-lekat.

Kebiasaan. Sudah malam masih main game. Rajit mengetuk pintu itu dua kali. Lima detik setelahnya, ia kembali mengetuk pintu itu karena tak juga ada sahutan. Hingga akhirnya sang penghuni kamar menyahut dari dalam dengan suara kencang.

“Jangan main handphone terus! Belajar sana! Katanya mau sukses, tapi buat buka buku aja harus nunggu seabad dulu,” ujar Rajit, agak meninggikan suaranya. “Matiin handphone-nya atau Abang dobrak pintu ini!”

The Lost History; S-156 [Book 2]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang