B. Enam - Keraguan

82 17 0
                                    

| Chapter 6 |

“Petunjuk rambut ini biar kami yang simpan, ya? Kami juga akan mencari tahu siapa pemilik rambut ini,” tutur Antonio sambil memasukkan helai rambut yang Caya temukan ke dalam plastik ziplock berukuran kecil.

Gean diam saja. Biasanya dia yang paling banyak bicara dibanding dengan ketiga temannya. Apalagi kini banyak orang yang belum dikenalnya. Gean akan sibuk berkenalan dengan cerianya, tapi kini dia malah menutup mulut rapat-rapat.

Jujur, Gean tidak percaya pada para polisi itu. Kalau saja polisi bernama Iman tadi tidak memberitahu soal rambut itu, pasti Gean sudah menyembunyikannya. Walaupun ia sendiri sadar, bahwa percuma saja bukti itu ada pada dirinya. Karena Gean maupun teman-temannya tidak memiliki alat untuk mengetahui siapa pemilik rambut tersebut.

Pergelangan tangan kiri Caya ditarik olehnya dan dibawa menjauh dari semua orang. Kemudian, ia membalik badan. Memasang wajah cemberut dengan bahu mengendur.

“Cubit pipi gue,” katanya tiba-tiba.

“Nggak mau!”

Kedua tangan Caya diraih. Lalu, diletakkan di masing-masing pipi Gean. Iris birunya terlihat sangat memesona dari sudut tempat Caya berdiri. “Cubit, Ca,” suruhnya, lagi.

Mau tak mau, Caya mencubit pipi Gean. Agak kencang, sampai membuat Gean meringis pelan. Tetapi, setelahnya, Gean malah tersenyum lebar. Menampilkan deretan gigi serta lesung pipit manisnya.

“Tadinya gue pengin peluk, tapi malu, di sini rame,” jujur Gean. Benar, tadinya ia ingin memeluk Caya. Tapi, teringat lebih dulu kalau di sekitarnya cukup banyak orang. Malu ‘kan kalau sampai dilihat. “Ca, nanti mau main ke rumah dulu, nggak?”

“Ngapain?” tanya Caya setelah menjauhkan tangannya.

“Ya, ngapain aja. Main game juga boleh.”

“Enggak, ah, capek. Habis selesai dari sini, gue mau kerjain tugas yang numpuk.”

Interupsi dari Antonia membuat keduanya menoleh. Mereka disuruh untuk melakukan pencarian lagi. Katanya, petunjuk yang ditemukan tadi belum cukup untuk memenuhi bahan penyelidikan.

Lagi-lagi, Gean menarik tangan Caya. Mengajak gadis itu untuk mencari bersamanya saja. Mereka pun sibuk mencari. Mata sengaja ditajamkan agar bisa melihat sesuatu yang mungkin saja ukurannya hanya sebesar satu butir beras, atau bahkan seukuran satu butir gula pasir.

Tak sengaja lengan Caya bersentuhan dengan lengannya Hades. Pemuda itu tersenyum, sama halnya dengan Caya. Gean yang berada di samping kiri Caya pun berdecak. Lalu, berpindah posisi menjadi tengah-tengah Caya dan Hades. Gean sampai menggeser paksa tubuh Caya menggunakan tangannya.

Makhluk aneh datang lagi. Radar Gean langsung aktif saat itu juga. Padahal Gean belum berkenalan dengan Hades, tapi ia sudah memasukkan Hades ke daftar orang yang harus dihindari dari Caya.

“Lo nemu sesuatu?” tanya Rajit yang tiba-tiba saja sudah ada di dekat Caya. Di sebelahnya terlihat Mala yang tengah merapikan sarung tangan elastisnya.

“Belum,” jawab Gean, bohong. “Lo sendiri gimana? Ada nemu sesuatu?”

Rajit melirik sekitar, sebelum akhirnya agak mendekat ke arah Gean. Dikeluarkannya ponsel dari dalam saku. “Gue nemu ini,” katanya.

Rajit baru saja menunjukkan sebuah foto. Di mana, pemuda itu memotret bekas tumpahan kopi yang tidak terlalu besar. Setelah memastikan Caya dan Gean melihatnya, Rajit segera mematikan ponsel dan memasukkan kembali ponselnya.

“Gue nggak percaya sama mereka.”

“Gue juga,” balas Gean. “Habis dari sini, kita kumpul dulu, ya? Sekalian mengisi perut.”

The Lost History; S-156 [Book 2]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang