punkrock dan endorsement polisi : garis tipis antara naif dan moron

15 3 3
                                    

" Punkrock jadi hiburan di panggung. Punkrock jadi papan iklan berjalan.
Punkrock dibayar untuk menghibur. Sekalian saja ikut kampanye parpol !
Punkrock tak punya sikap , Netral itu dungu!
Punkrock doger monyet, Semua bertepuk tangan."
‘Punkrock Terdomestikasi’ – Milisi Kecoa

Akan selalu ada pertama kali untuk segala sesuatu. Neil Amstrong manusia pertama mendarat di bulan. Pasteur menemukan vaksin pertama untuk rabies dan anthrax. Grand Wizzard Theodore, DJ pertama yang menemukan teknik bernama scratch. Tahun 2004 Yunani menjuarai piala Eropa pertama dalam sejarah sepakbola mereka. Bulan lalu Canibus dibantai pada sebuah rap battle dengan sangat memalukan untuk pertama kali.

Dan untuk kasus paling ajaib di scene Bandung, mari kita ucapkan selamat pada band (konon) punk rock asal Bandung, Rosemary yang tercatat sebagai band punk pertama yang bermain pada acara polisi, tepatnya HUT Bhayangkara minggu kemarin. Awalnya saya tak percaya beberapa kawan memberi kabar. Namun headline sekunder yang terpampang gagah pada sebuah media lokal“Ternyata Polisi Suka juga Musik Punk” membuat saya dan beberapa kawan terbahak-bahak. Prestasi. Sebuah terobosan.

Acara ini konon sangat fenomenal. Bukan dalam hal pencitraan yang dilakukan oleh kepolisian. Itu sih barang basi. Dari dulu polisi selalu berusaha mati-matian memoles citranya sebagai pelindung dan bagian dari masyarakat sipil dengan berbagai cara. Dari kerja sosial sampai agen polisi ganteng, kita tahu polisi memerlukan pencitraan terhadap kebobrokan sebagai salah satu institusi paling korup kuasa di belahan dunia manapun. Tak heran, mereka sudah kadung bernasib jadi perpanjangan tangan rezim penguasa dan pemilik modal. Yang agak membuat spesial acara ulangtahunnya kali ini, kepolisian menghadirkan sesuatu yang agak berbeda. Subaghumas mereka, tentu paham psikologi kehumasan dan fenomena terkini yang terkait dengan citra polisi yang represif terhadap kultur bawah tanah di Bandung.

Mereka paham betul kebijakan politik perizinan pasca tragedi AACC semakin memperburuk citra mereka. Ide membuat panggung rakyat itu juga sudah biasa, namun memajang para anggota satuan bermain band di panggung memainkan lagu-lagu terkini itu cukup ‘unik’ dan ‘menghibur’. Dari lagu D’Bagindas, Ada Band sampai Boomerang, acara ini mencapai puncaknya ketika para anggota satuan itu memainkan lagu punk dan mengundang Rosemary band punk tadi, lengkap dengan massa mereka yang berambut mohawk, moshing didepan panggung. Wow.

Rasanya belum lama kita melewati perdebatan tentang apa yang harus dilakukan pasca kasus Punk Aceh dan beberapa kasus menggelikan yang mengikutinya. Saya sendiri sudah muak mendiskusikannya, jika memang masih ada banyak kawan yang mau mengemis belas kasihan otoritas dan polisi untuk aktivitas kultural mereka, silahkan saja, saya tak peduli. Namun, entah kenapa saya masih saja takjub ketika mendengar personel Rosemary berujar “Kita bersyukur dan berterima kasih banget sama Polrestabes yang udah ngundang kita. Rencana bawa lima lagu tapi bisa aja lebih. Ke depan kita harap perizinan untuk menggelar acara underground lebih mudah,”. Seolah selama ini nasib gigs punk itu bergantung pada polisi. Its amazingly hilarious.

Tapi tak apalah. Lagipula, kasus punk terdomestifikasi sudah bukan barang baru. Rosemary hanya menegaskan kembali bahwa punk sudah bukan hal penting untuk anak muda. Dengan rentetan hal-hal menggelikan selama ini, jelas punk tak lebih dari hiburan pelepas penat, doger monyet dalam bahasa kawan-kawan Milisi Kecoa. Bahkan, nampaknya kita harus berterimakasih pada Rosemary yang sudah mempercepat pembusukan yang selama ini hanya terkesan bergerak di wilayah abu-abu, mereka menegaskan boro-boro jadi kultur tandingan, Punk ternyata punya fungsi baru, digunakan untuk pencitraan otoritas yang pada esensinya merupakan oposan dari ide pembangkangan yang direpresentasikannya dulu.

Ini membuat saya mendadak tertarik dengan mereka. Barusan saya mencari Rosemary di youtube dan mendapatkan cuplikan penampilan mereka di RadioShowTVone beberapa waktu lalu, sungguh epik!, silahkan liat pada detik 0:47 ketika sang vokalis berteriak-teriak “the punk rooooooooock, oi the punk rooooock!!” dan bayangkan itu dilakukan di acara HUT Bhayangkara kemarin.

Memang usang bicara tentang kooptasi dan domestifikasi. Di tengah-tengah isu-isu pergulatan akar rumput dari perjuangan kawan-kawan di Kulon Progo, hingga kriminalisasi Pa Atjeng, aksi jalan long march korban Lapindo, pergulatan kawan-kawan buruh Bandung melawan union-busting terselubung, sampai perlawanan warga terhadap represifitas aparat di banyak area tambang di berbagai pelosok, rasanya membahas kooptasi punk terasa lucu, tak penting, cengeng nan menjijikan. Tapi bagaimanapun kasus Rosemary ini cukup menarik, paling tidak tetap membuat seorang kawan berujar takjub “Ini mereka beneran polos atau bloon sih?”.

Well, di era lagu Bongkar dan Iwan Fals jadi iklan kopi dan artis kembali bersiap jadi display sodomi partai politik, Rosemary berjasa membuat punk semakin menjadi bagian dari lawakan kontemporer. Semakin membuat tipis batas antara naif dan moron. Dengan kasus ini nampaknya lirik sinis Milisi Kecoa tentang band punk maen di kampanye parpol tak hanya akan sekedar lirik, nampaknya jalan sudah dibuka dan akan segera terwujud.

PS: And why the fuck people are so gung-ho on this skate punk stuff? what the fuck is skate punk anyway? apakah ia genre baru gabungan antara olahraga dan punk? so what’s next? Soccer Punk? Basketball Punk? Golf Punk? Badminton Punk? dude, i really wanna sign up for Bowling Punk!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 14, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

punkrock dan endorsment polisi : garis tipis antara naif dan moronTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang