01

145 11 0
                                    

Perempuan berumur 26 tahun itu turun dari motornya dengan tubuh yang amat lelah. Meski memiliki gender yang pamali untuk pulang malam, ia tetap melakukan hal itu dikarenakan tuntutan pekerjaan.

Saat melepaskan helm, matanya menangkap mobil-mobil yang terparkir di garasi, membuatnya menghela napas kesal. Rencana tidur cepatnya harus ditunda oleh tamu-tamu yang menurutnya sinting karena masih bertamu padahal waktu hampir tengah malam. Apalagi jika ia harus bertatap muka dengan Ayah.


Hubungan keduanya semakin meregang setelah kepergian mendiang Bunda. Kesalahan Sang Ayah--yang menurutnya-- tidak bisa dimaafkan membuat perempuan itu menimbun rasa benci. Kesalahan yang membuatnya harus menanggung semua luka dan trauma.



Tanpa lama, perempuan itu segera merapihkan penampilannya. Walau benci, ia masih tahu diri untuk tidak mempermalukan Sang Ayah di depan para tamunya.

"Amara pulang..." ucapnya begitu pintu terbuka. Sontak dirinya menjadi atensi semua orang yang ada disana. Perempuan bernama Amara itu tersenyum canggung lalu membungkuk sopan dan duduk di sebelah Sang Ayah. Ia sedikit heran ketika melihat satu-persatu lelaki di depannya. Jika diperkirakan usia mereka, mungkin bisa dibilang sangat muda untuk disebut sebagai kolega Ayah.


"Perkenalkan, saya Amaranth Nailazaara Wiyata. Anak tunggal Pak Agung Wiyata." sapa Amara dengan senyum yang terukir manis di mulutnya. Tidak dapat dipungkiri jika senyum manisnya mampu membuat laki-laki di depannya terpesona.


Setelahnya, mereka berbincang ringan yang diselingi tawa. Amara hanya tersenyum saat para lelaki itu mengeluarkan candaan. Jujur, Amara ingin sekali berlari ke kamarnya dan segera tidur. Pekerjaannya yang tidak terbilang ringan tentu membuat sekujur badannya remuk.



Dirasa sudah mencapai batasnya, Amara mencolek lengan Agung pelan. "Yah, boleh aku ke kamar?" Agung menoleh, sedetik kemudian ia menjentikan jari. "Haha, Ayah terlalu asyik bicara sama adik barumu sampai lupa tujuan awal." Amara mengernyit ketika mendengar kata 'adik baru'. Hendak mengatakan sesuatu, namun Agung lebih dulu mengambil alih.

Agung menggenggam tangan wanita di sebelahnya dan mengambil napas dalam. "Ayah menikah dengan Mama Damara, dan mereka adikmu."




Amara diam mematung. 

"Ayah menikah."

"Dengan Mama Damara."

"Mereka adikmu."

Napasnya seolah berhenti begitu saja ketika Agung dengan santainya mengucapkan kalimat yang sangat tabu di telinganya. Menikah? Tanpa memberitahunya? Apakah dirinya tidak begitu penting sampai Sang Ayah harus menikah secara diam-diam?




"A-apa kita bisa bicara berdua saja...?" gagap Amara kepada Agung, membuat pria itu mengelus surai anak semata wayangnya lembut. "Ara bisa bilang disini kok..."

Rahang Amara mengeras ketika Ayah memanggilnya "Ara", panggilan yang tidak pernah ia dengar sejak 13 tahun lalu. Ia memejamkan matanya sesaat, berusaha menetralkan emosi yang hampir meledak. Sebisa mungkin Amara menahan emosinya agar tidak merusak suasana. Apalagi beberapa pasang mata yang kini tertuju padanya.

The WiyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang