"Jeno?" Jeno menoleh kaget ketika mendapati Jaemin sudah berdiri di belakangnya, refleks dia menyembunyikan sesuatu di balik saku celananya, lalu mengusap matanya kasar yang sedikit sudah memerah.
"Ayo cepetan turun, Ayah sudah lama nunggu" Jeno malah menunduk, seolah kesedihan itu kembali menerjang.
"Jeno?" Tanya Jaemin sekali lagi, pundak Jeno bergetar. Jaemin tahu betul, sepertinya saudaranya ini kembali menangis. Refleks Jaemin membawa Jeno ke dalam pelukannya, mengelus pundaknya, membiarkan bahunya menjadi sandaran keluh kesahnya. Sekali lagi, Jaemin kembali berperan sebagai sosok penenang. Keduanya terdiam sejenak dalam keheningan, membiarkan Jeno untuk yang kesekian kalinya menangisi seseorang.
"Sudah Jeno, berhenti menangis. "
Percakapan singkat terdengar dari sebrang pintu. Jaehyun menghentikan langkahnya. Dia dapat melihat dua sosok lelaki itu sedang saling menguatkan. Jaehyun mengepal keras kedua tangannya, menghela nafas sejenak sebelum dirinya benar benar melanjutkan langkahnya dan bersuara
"Jaemin, Jeno. Ayo kita berangkat" tanpa memandang kedua sosok yang sudah berpaling kepadanya, Jaehyun berjalan terlebih dahulu tanpa suara. Jaemin menggenggam erat tangan Jeno, entah kenapa langkah Jeno terkesan sangat berat seperti seorang bayi yang harus di tuntun untuk berjalan.
Jaehyun mendudukan diri di kursi kemudi. Tak lama Jaemin dan Jeno mendudukan diri di kursi belakang. Tanpa ada kontak mata bahkan tanpa suara, Jaehyun menyalakan mesin dan memandu kemudi di pagi hari itu.
Entah mengapa perjalanan kali ini terasa begitu lama. Keheningan diantara ketiganya membuat suasana di dalam mobil terlihat begitu canggung. Genggaman erat tangan Jaemin tidak pernah lepas dari genggaman Jeno. Jeno masih tertunduk, berbeda dengan Jaemin yang terlihat biasa saja. Sementara itu, sosok Jaehyun memasang wajah tegas dengan semburat penuh emosi yang sulit di tebak, marahkah? Sedihkah? Hanya lubuk hati Jaehyun yang tahu.
Mobil berhenti di sebuah gedung. Ketiganya keluar tanpa suara, berbeda dengan Jaehyun. Dia sempat merapikan stelan jas dan dasi yang dikenakannya sebelum kembali melangkah. Sementara Jeno? Setelah dua langkah dia kembali mematung. Lagi lagi Jaemin kembali kesulitan untuk membuat saudaranya yang satu ini tenang.
"Jeno, semuanya akan baik baik saja" sekali lagi Jaemin meyakinkan. Dengan berat hati, Jeno kembali melangkah dan keduanya mengikuti arah langkah Jaehyun yang sudah jauh di depan mereka.
Sebuah pintu terbuka, Jaehyun dengan tegas dan angkuh memasuki ruangan yang sudah dihadiri oleh 4 orang itu.
"Bunda.." lirih Jeno ketika melihat sosok cantik dari kejauhan tersenyum kearahnya.
Jaehyun dengan tegas duduk di tempat yang sudah di sediakan untuknya. Lelaki manis yang sejak tadi sudah duduk tak jauh di sampingnya memandang sendu kehadirannya.
"Jaehyun" serunya pelan membuat si lelaki tegas sedikit menoleh kepadanya.
"Terima kasih" sebuah senyuman penuh arti dari kedua pihak yang sedang duduk berdampingan menandakan perpisahan keduanya benar adanya.
Sidang perceraian hari itu pun dimulai.
.•Divorce•
🎃.
"
"BUNDAAAAAA!!!" Jeno berlari terbirit birit menuruni tangga menuju arah dapur.
"Jeno masih pagi, jangan teriak teriak!!" Sosok yang dia cari langsung dia rengkuh dalam pelukan
"BUNDAAA!!!" Rengeknya lagi dalam mode manja yang semakin berlebihan. Doyoung melepas paksa tangan erat Jeno di pinggangnya, lalu menatap lelaki manja itu dengan hangat. Tetapi ada yang aneh setelah cukup lama di perhatikan.
"Jeno? Kenapa nangis?" Tiba tiba Doyoung panik. Jeno terdiam sejenak, sekali lagi Jeno kembali memeluk erat sosok kesayangan di hadapannya itu, berbeda dengan sebelumnya, pelukan kali ini sedikit melunak dan Doyoung tidak menolak.
"Ekhm!" Suara berat seseorang mengalihkan atensi mereka.
"Jae, kau sudah bangun?" Doyoung masih mengelus manja Jeno dalam pelukannya.
"Sayang, buatin aku kopi"
"Bikin sendiri dong yah, ih payah manja!" Itu suara Jaemin yang baru saja turun dari tangga dan langsung menyambar Doyoung dan ikut nimbrung dalam keadaan meluk memeluk. Jaehyun makin kesal.
"Oke, pagi ini bunda milik kalian. Tapi jangan harap malam ini bunda ada waktu untuk kalian" ancam Jaehyun
"Jae, ih!" Iya Doyoung mah langsung aja nyubit tipis lengan berotot tapi berotak mesum itu.
Kini Doyoung kembali mengalihkan atensinya pada Jeno yang belum cerita apapun dan alasan dia teriak sepagi ini lalu memeluknya erat.
Doyoung melepas pelukan keduanya dengan pelan."Jeno, jadi kenapa hm? Kenapa kamu nangis?"
"Jeno mimpi buruk Bun" lagi lagi Jaemin yang jawab.
"Ayah pokoknya harus jagain bunda! Awas kalau ayah gagal, Jeno ga bakal segan patahin tulang Ayah sampe remuk!" Doyoung terkekeh dengan ancaman Jeno yang terdengar lucu.
"Siap jagoan!!! Apa sih yang enggak buat bunda? Iya kan, Bund?" Tatapan genit Jaehyun lagi lagi mengundang satu cubitan di lengan berotot itu, tapi hal tersebut mengasilkan gelak tawa diantara Jaemin dan Jeno. Ya, seperti itulah pagi hari mereka. Kenapa Jeno harus sekhawatir itu hanya karna sebuah mimpi buruk? Keluarga seharmonis ini tidak mungkin berpisah karena sebuah perceraian kan?
Iya kan?
Doyoung termenung sejenak ketika memperhatikan ketiga lelakinya. Apakah keputusannya yang sudah lama ia renungkan itu sudah benar? Tidak mungkin dia tega meninggalkan ketiga lelaki kesayangannya ini, bagaimana mereka hidup jika tidak ada sosok dirinya?
Tetapi, luka itu sudah terlebih dulu terlalu dalam menusuk hatinya.
Sosok Jaehyun yang selama ini terlihat sempurna di hadapan kedua anaknya, bukanlah sosok Jaehyun yang sesungguhnya.
Menjadi saksi sebuah perselingkuhan dalam kurun waktu 17 tahun bukanlah waktu yang singkat.
Doyoung ingin mengakhiri semuanya.
"Jae, ayo kita bercerai"
Percakapan tempo hari membuat Doyoung tersenyum miris pagi ini.
fin.
🎃Hmm.. gimana nih pemirsah, cere nggak tuh kira kira? 🤭
😭🙏 hampura ih nulis cerita kek ginian julid banget emang akutu