6 | Setiap sarapan punya kisah berbeda

2.2K 496 51
                                    

b a g i a n | 6 |  Setiap sarapan punya kisah yang berbeda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

b a g i a n | 6 |  Setiap sarapan punya kisah yang berbeda

————————————

.

.

.

.

.

.

.


Yang terjadi selanjutnya selepas Loka dan Dikta berseteru sore itu, tidak ada percakapan di malam harinya. Entah Loka yang memang begitu terluka, atau Dikta yang sama sekali tidak mau diganggu dengan hadir pamannya, dua lelaki itu sama saja. Keras kepala.

Dikta tidak habis pikir kenapa orang-orang suka sekali membohongi diri dengan berlagak tidak apa-apa, padahal dalamnya sedang terluka. Dikta juga tidak paham kenapa tertawa di atas penderitaan hidupnya terdengar seru dan manjur untuk diberi cap orang bahagia.

Tentunya, Nadesh dan Leo saja tidak tau seperti apa rasanya diingatkan tentang pilihan sepihak yang diutarakan ketika ia masih sekolah dasar. Harusnya Dikta masih belajar bersepeda dengan Dovan, harusnya Mama masih membantunya membaca doa tidur sebelum terlelap di keheningan malam. Sayangnya hidup tidak sebaik itu kepada Dikta.

Lalu apakah Leo dan Nadesh mendapat bagian semesta yang lebih baik? Tidak juga.

Dua remaja lelaki itu tak kalah susahnya dari Dikta. Adanya orang tua tak menjamin hidup mereka senang dan suka. Terlebih Nadesh yang anak pertama dan satu-satunya. Bapak begitu selektif dalam memilih pergaulan, tadinya Dikta sering dimaki oleh dirinya. Kalau Nadesh tidak bertengkar dengan Bapak, mungkin hingga saat ini Bapak masih menaruh dendam dengan anak lelaki yang menyelamatkan putranya dari bullying itu.

Selain itu, standart Bapak terlalu tinggi untuk Nadesh. Nadesh anak IPS, tapi Bapak bersikeras anaknya itu harus jadi dokter. Memang pemikiran Bapak kuno sekali. Baginya anak-anak IPS tidak punya masa depan cerah, dia bilang itu pengalamannya sendiri.

"Ma, emangnya aku nggak boleh ambil bisnis atau manajemen aja? Aku anak sosial Ma, gimana mau lintas jurusan ke saintek, apalagi kedokteran?"

Nadesh kembali melakukan negosiasi sebelum Bapak muncul untuk sarapan. Mama melipat kemeja kerjanya, lalu menatap Nadesh malas.

"Mama kan udah bilang berkali-kali, kamu bisa pilih jurusan kalau kamu kuliah di luar negeri."

"Apasih masalahnya sama jurusan yang aku mau, Ma? Emang seberdosa itu ya nggak jadi dokter?"

Bapak keluar dari kamar, merapikan setelannya yang terkena debu dari pintu. "Kamu berani ngomong kayak gitu ke Mamamu?"

"Aku cuma tanya, kalau aku nggak jadi dokter emang dosa banget, Pak?"

Rumpang | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang