“Jadi seperti itu, dan kalian langsung pergi begitu saja?” tukas Haruki dengan menyandarkan dirinya.
“Lalu menurutmu apa yang harus kami lakukan? Memberikan anak kami begitu saja kepada mereka? Kenapa, tidak sekalian saja kau menyerahkan anakmu kepada mereka juga?”
“Zeki,” ucapku pelan sambil memegang lengannya saat dia hendak beranjak.
“Aku telah melakukannya, buktinya Hikaru dapat bersamaku sekarang,” jawab Haruki, sembari mengangkat pandangannya menatapi kami berdua.
“Tapi tetap saja, ini dan itu dua hal yang berbeda … Aku, paham benar rasanya saat kita dipisah paksa dengan darah daging kita sendiri. Jadi aku, tidak akan menyalahkan perbuatan kalian. Dan juga, Kou membawamu ke dunianya … Mungkin, inilah tempat teraman untuk Sachi dan anak kalian. Apa kita harus membangun rumah di sini, Izumi?”
“Kita bisa meminta para Manticore membantu kita membangun rumah untuk kita tinggali sementara di sini,” sambung Haruki dengan mengarahkan pandangannya ke sekitar.
“Aku tidak mempermasalahkannya. Lagi pun, kapan lagi tubuhmu dapat merasakan dua musim sekaligus saat berdiri di sana,” timpal Izumi sambil menunjuk wilayah yang jadi perbatasan antara hamparan rumput hijau dan salju.
“Anakku pun harus memiliki tempat yang layak untuk tidur. Jadi, Bibi … Aku menitipkan keponakanmu ini,” tukas Haruki, dia sedikit beranjak sambil mengarahkan tangannya yang menggendong Hikaru kepadaku.
Haruki beranjak berdiri, saat putranya telah berada di gendonganku. Aku sedikit menggerakkan tubuh dengan sebelah tanganku, hingga tubuhku sendiri pun duduk bersandar di pohon sambil menatap punggung mereka bertiga yang berjalan menjauh.
Kepalaku tertunduk, saat kurasakan sesuatu menekan-nekan dadaku. Kugigit kuat bibirku, ketika pandangan mataku itu terjatuh ke arah Hikaru yang menekan dadaku diikuti bibirnya yang kadang kala menempel di kain pakaian yang menutupi dadaku itu, “maafkan Bibi, Hikaru. Jika saja punya Bibi sudah bisa menghasilkan susu … Bibi, akan dengan senang hati menyusuimu,” suaraku yang keluar terdengar gemetar, terlebih saat aku mencium tangannya.
“Maafkan Bibi. Jika saja Bibi dapat sedikit bersabar, kau … Mungkin akan mendapatkan hakmu,” sambungku, sambil mengecup pelan keningnya.
“Sachi nee-chan.”
Aku kembali mengangkat pandanganku saat suaranya terdengar, “Eneas, apa yang kalian bawa itu?” tanyaku, saat dia dan Lux bergerak mendekat dengan sebuah sarang burung besar di tangan Eneas.
“Ini sarang milik Uki,” jawab Eneas ketika dia duduk sambil meletakkan sarang tersebut di sampingku, “Haru nii-san, memintaku untuk mengambilnya untuk dijadikan tempat tidur sementara Hikaru,” sambungnya, sembari mengeluarkan lipatan kain dari dalam tas yang ia bawa.
Eneas, menutupi bagian atas sarang tersebut dengan kain yang ia ambil, “Sachi nee-chan pasti lelah, bukan? Jadi, baringkan saja Hikaru di sini. Cuaca yang hangat dengan angin semilir seperti ini, akan semakin membuatnya tertidur nyenyak,” ucap Eneas sambil tersenyum menatapku.
Aku melaksanakan seperti yang ia pinta … Dengan perlahan, kuletakkan Hikaru di atas sarang tersebut dengan sesekali kutepuk-tepuk pelan pahanya untuk sekedar membuatnya kembali terlelap. “Baiklah, aku akan membantu yang lain membangun rumah. Jika nee-chan membutuhkan sesuatu, pinta saja Lux untuk memanggil kami,” ungkap Eneas lagi, diikuti jari telunjuknya mengarah kepada Lux sebelum dia beranjak berdiri lalu berjalan meninggalkan kami.
“Bagaimana keadaanmu, Sachi?”
“Lux,” tukasku ketika menjatuhkan pandangan ke arahnya yang telah terbang lalu duduk di samping sarang yang ditiduri Hikaru, “aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu sendiri?” Aku balas bertanya setelah sebelumnya tersenyum kecil membalas tatapannya.
“Aku, tidak menyangka jika mereka melakukan hal tersebut kepadamu.”
“Kau mengetahuinya?”
“Aku menguping pembicaraan kalian di sana. Bahkan, aku sendiri yang mengantar para Manticore ke rumah yang mereka tinggali,” jawab Lux dengan kepalanya yang enggan terangkat.
“Maafkan aku, Sachi. Aku, tidak bisa berbuat banyak saat mereka memperlakukanmu seperti itu,” sambung Lux, sambil mengangkat kembali wajahnya perlahan membalas tatapanku.
“Apa kau, ingin merasakan gerakan anakku? Jika iya, kemarilah!” pintaku sambil melambaikan tangan ke arahnya.
Lux terbang mendekati perutku. Awalnya, dia sempat ragu untuk untuk semakin mendekati tangan kecilnya itu menyentuh perutku. “Aku merasakannya,” tukas Lux sembari mengangkat kepalanya tersenyum menatapku.
“Panggil aku Paman Lux saat kau lahir. Semua orang termasuk Ibumu, kadang bersikap menjengkelkan … Cepatlah tumbuh besar dengan sehat, karena Pamanmu ini akan mengajarkanmu banyak sekali pengetahuan yang bahkan Ibumu sendiri tidak mengetahuinya bersama Kakakmu, Hikaru.”
“Dia kembali bergerak, apa mungkin dia mengerti perkataanku?” sambung Lux dengan kembali tersenyum lebar menatapiku.
“Benarkah? Aku tidak merasakan apa pun-”
“Sudah tidak aneh untukku, kalau saja aku dan kedua kakakmu itu tidak berusaha mati-matian menyadarkanmu mengenai perasaanmu sendiri … Kau mungkin tidak akan menikah dengan Zeki sekarang, kau mungkin akan menangisinya yang tiba-tiba bertunangan meninggalkanmu,” ungkap Lux memotong perkataanku dengan cepat.
“Kenapa? Dari semua kejadian, kau hanya mengingat saat-saat itu-”
“Karena itu, titik balik saat kau berusaha jujur untuk dirimu sendiri,” sambung Lux, dengan kembali terbang lalu hinggap duduk di sarang yang menjadi tempat tidur Hikaru.
_________________.
Aku mengangkat kepalaku, menatapi Haruki yang tengah berdiri sambil menimang, berusaha untuk menenangkan Hikaru yang tangisannya semakin kuat dan semakin kuat dari waktu ke waktu. “Nii-chan, apa ada yang bisa aku bantu?” tanyaku sembari beranjak dengan melangkahkan kaki mendekatinya.
“Dia mungkin hanya lapar, aku telah meminta Izumi mencari bantuan untuk kita.”
“Bersabarlah, Hikaru. Mereka akan segera datang membawa makanan untukmu,” sambung Haruki, sambil menepuk-nepuk punggung putranya itu.
“Mereka telah datang,” tukas suara Eneas yang membuatku mengikuti ke arah mana pandangan matanya itu.
“Tsu nii-chan? Tatsuya? Tsutomu? Yuki?” tukasku, saat pandangan mataku itu terjatuh ke arah mereka yang berjalan di belakang Zeki dan juga Izumi dengan beberapa ekor sapi di belakang mereka.
“Aku sadar, jika hanya kita saja … Kita mungkin sanggup bertahan di sini. Tapi untuk anakku yang masih membutuhkan susu untuk makanannya, aku tidak bisa menjaminnya. Dan juga, sepertinya Kou mengerti akan hal ini-”
“Jadi, Kou membukakan gerbang untuk kami ke Sora. Aku memberikan dua kabar kepada Tatsuya, satu berisikan permintaan kepada Ayah untuk mengirimkan mereka membantu kita yang sedang kesusahan di perjalanan, sedang kabar yang kedua berisikan perintah khusus untuk mereka agar menemui Izumi atau Zeki di hutan yang ada di atas bukit dengan membawa beberapa ekor sapi perah untukku.”
“Bisa kau menggendongnya Sa-chan? Sepertinya dia tertidur karena lelah menangis,” ungkap Haruki yang membuat pandanganku kembali beralih kepadanya.
Aku mengangkat kedua tanganku meraih dan menggendong Hikaru yang tertidur dengan mengemut jari-jemarinya sendiri. Kuangkat sebelah tanganku mengusap perlahan bagian bawah matanya yang basah. “Kalian bergerak cepat setelah mendapatkan kabar dariku. Kerja bagus,” tukas Haruki yang telah berdiri membelakangiku dengan menatapi mereka semua yang telah berdiri di hadapan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Queen : Memento Mori
FantasíaKelanjutan dari novel 'Fake Princess' di MT/NT. Diharapkan, untuk membaca novel 'Fake Princess' terlebih dahulu, agar dapat mengerti dengan alur ceritanya. Genre : Dystopia, High Fantasy, Romance, Action, Mystery, Slice of Life, Adventure, Psycholog...