The Rains and Umbrella

30 3 0
                                    

Langit sore yang indah, angin yang bertiup seakan membelai, keadaan yang tidak terlalu ramai, setidaknya begitulah yang dirasakan Mentari sebelum sampai di halte untuk berteduh karena tidak membawa payung.

Mentari benci sekali cuaca hujan. Selain dia tidak bisa ke mana-mana meskipun sudah membawa payung, bau udara saat hujan selalu membuatnya teringat pada kenangan buruk saat kecil. Alasan sekarang Mentari tidak membawa payung karena semua payung yang dia bawa selalu rusak, entah tidak mau terbuka, patah, atau terbuka mengembang ke atas seperti mangkuk. Jika Mentari menerobos hujan agar sampai rumah maka dirinya akan sakit selama tiga hari. Mentari tak mau hal itu terjadi. Menunggu. Itulah yang bisa dilakukannya saat ini dengan wajah kesal. Sudah hampir sebulan ini hujan terus datang mendadak saat Mentari pulang sekolah.

Saat sedang asik bermenung menunggu hujan sendirian di halte, tiba-tiba datang seorang cowok yang mengenakan jaket biru gelap, yang di dalamnya mengenakan seragam SMA. Terlihat headphone menggantung di lehernya. Dia terlihat terengah-engah dan hampir basah kuyup. Begitu sampai, Ia langsung membuka tudung jaketnya dan menepuk-nepuk tasnya yang terkena hujan karena digunakan untuk menutupi kepalanya dari hujan sambil berlari. Rambutnya yang sedikit lebat dan agak basah diacak-acak, kemudian ia rapikan kembali dengan jari tangannya.

Mentari memang tidak begitu memedulikan kehadiran laki-laki itu. Tapi, rasa ingin mengobrol melanda pikirannya, meskipun itu hanya bertanya tentang sekolah karena di halte hanya ada mereka berdua. Ditambah Mentari merasa bosan karena menunggu hujan. Ia juga merasa kalau mereka seumuran karena sama-sama mengenakan baju seragam SMA: putih abu-abu. Namun, Metari mengurungkan niatnya itu ketika mengetahui cowok itu langsung menggunakan headphone nya sambil membaca sebuah buku dan juga jarak duduk mereka yang berjauhan: Mentari duduk di ujung bangku halte, cowok tersebut berada di sisi lainnya. Ketika hujan berhenti, Mentari melanjutkan perjalanannya, sedangkan cowok itu masih tetap di halte dengan buku yang terbuka di hadapannya.

Keesokan harinya, Mentari membawa sepeda dengan harapan bisa pulang dengan cepat sebelum hujan turun. Hanya saja usaha itu sia-sia. Hujan tetap turun saat Mentari sampai di halte tempatnya kemarin berteduh. Saat ini halte tersebut dipenuhi banyak orang yang ikut berteduh. Cowok yang kemarin ditemuinya sudah datang lebih dulu dan dia sedang duduk sambil membaca buku yang kemarin dibacanya. Beberapa menit kemudian datang seorang nenek yang ikut berteduh setelah turun dari sebuah angkutan umum. Nenek itu terpaksa harus berdiri menunggu hujan karena tidak ada yang mau sukarela berdiri hanya untuk memberikan tempat duduk.

"Oh, kamu disini, pantas di cariin nggak ketemu" sahut Mentari tiba-tiba sambil menarik lengan cowok yang ditemuinya kemarin untuk berdiri.

"Maaf ya tiba-tiba narik, kasian itu nenek nggak dapet tempat duduk," ucap Mentari sedikit berbisik kepada cowok itu. Mengetahui seorang nenek yang sedang berdiri di ujung halte, cowok itu langsung memanggil dan menawarkannya untuk duduk. Setelah si nenek duduk, mereka berdua menunggu hujan sambil berdiri hingga hujan berhenti. Selama menunggu tak ada obrolan lebih lanjut di antara mereka berdua, hanya suara hujan yang memenuhi isi halte.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, Mentari yang sudah pasrah dengan keadaan, akhirnya tidak membawa sepeda lagi dan kembali seperti sebelumnya: berjalan kaki. Kali ini Mentari membawa ponsel. Meskipun di hari-hari biasa Mentari tidak pernah membawa ponsel, untuk saat ini Mentari tau menunggu hujan di halte itu sangatlah membosankan dan berharap dengan membawa ponsel ia bisa menghilangkan rasa bosan saat menunggu.

Selagi duduk menunggu hujan sendirian di halte, Mentari mengeluarkan earphone dan mendengarkan beberapa lagu yang ada di playlist sambil bersandar di sebuah tiang di tengah halte. Tanpa sadar, dirinya tertidur saat mendengarkan lagu tersebut. Begitu terbangun, Mentari kaget karena hari sudah gelap dan waktu sudah menunjukkan angka tujuh malam. Ia baru tersadar kalau tempat dia bersandar sudah bukan lagi di tiang, melainkan di bahu cowok yang beberapa hari ini ditemuinya di halte. Karena panik, Mentari segera minta maaf dan langsung pergi meninggalkan cowok itu sendiri. Beruntungnya tidak terjadi apa-apa pada dirinya.

The Rains & UmbrellaWhere stories live. Discover now