Suvenir #9: Stasiun Perhentian Terakhir

19 0 0
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Sarvita!" seru ibuku dengan lantang dari arah dapur, yang dengan seketika mengagetkanku.

"Eh! Ya, Mama? Nggak usah teriak juga, kali..."

"Lah, Mama sudah memanggil-manggil kamu dengan lemah lembut sejak tadi, tapi kamu nggak menyahut juga. Kamu sudah teler begitu. Mandi dulu, baru tidur."

"Ya, Mama... Ya...," jawabku pelan sambil menaiki tangga menuju ke kamarku.

Malam itu terasa sangat melelahkan bagiku. Setelah selesai lembur di kantor, akupun akhirnya tiba di rumah, makan malam, dan langsung beranjak kembali ke kamarku. Ibuku menuyuruhku untuk mandi terlebih dahulu sebelum tidur, namun aku sudah terlalu lelah dan langsung melompat ke atas ranjangku.

Aku menyempatkan untuk mengecek tabletku sekali lagi sebelum aku memejamkan mataku. Barangkali ada sebuah pesan yang cukup penting. Namun tidak ada notifikasi chat baru di ponselku.

Tetapi sesuatu dengan seketika menarik perhatianku.

Ada notifikasi panggilan tak terjawab.

Dan bukan cuma satu atau dua. Notifikasi panggilan tak terjawab itu berjumlah delapan panggilan, dan semuanya berasal dari satu orang: Alya, juniorku di kantor. Aku dan Alya memang cukup dekat semenjak ia mulai bekerja di kantor, karena akulah yang ditugaskan untuk mengajarinya semua hal yang perlu ia ketahui tentang pekerjaannya.

Namun, sedekat apapun kami, delapan buah panggilan tak terjawab, pada pukul setengah sembilan malam tetap bukan hal yang wajar. Aku sempat berpikir bahwa ada sesuatu yang membuatnya tertahan di kantor, tetapi aku terlalu letih untuk menelepon. Ditambah lagi, ponselku sebetulnya tengah diservis karena sebuah masalah, dan karenanya, untuk sementara waktu aku harus berkomunikasi menggunakan device-ku yang satu lagi. Sebuah tablet. Malas sekali rasanya bila harus menjawab panggilan telepon menggunakan tablet sebesar itu. Apalagi ditambah rasa kantuk dan letih yang tak tertahankan.

"Kenapa, Al? Sorry, aku tadi sedang makan malam. Aku juga baru tiba di rumah."

Selama beberapa saat, aku tidak mendengar suara notifikasi masuk di tabletku. Berasumsi bahwa Alya pun telah tiba di rumah dan tidur, aku meletakkan tabletku di meja, dan kembali berbaring. Baru saja aku mencoba memejamkan mataku, tabletku tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan telepon masuk kesana.

Kuambil kembali tabletku dari meja di samping ranjangku, dan kuperhatikan bahwa panggilan masuk itu bukan panggilan telepon biasa. Panggilan telepon dari Alya itu berupa sebuah video call via sebuah aplikasi chat. Di satu sisi, menjawab panggilan video call via aplikasi chat melalui sebuah tablet tidak terlalu merepotkan dibandingkan jika harus menjawab panggilan telepon biasa. Cukup diswipe saja, dan suaranya sudah otomatis akan keluar melalui loudspeaker.

SUVENIR DARI NERAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang