________________
Aku sudah berkali-kali membayangkan bagaimana aku mati. Bukan hal yang luar biasa mengingat lingkungan hidupku, kan? Tertembak pistol musuh, tertusuk pisau lawan, diracun. kecelakaan terorganisir, bahkan mungkin mati karena dikhianati orang-orang terdekatku. Kehidupanku sendiri beberapa tahun memang selalu di ambang kematian. Dan aku sudah berkali-kali berada di situasi hampir mati.Seperti saat ini.
Dugaanku nyaris benar. Sebentar lagi aku akan mati. Tertembak. Oleh tangan orang terdekatku. Orang tersayangku. Anehnya, aku menyambut detik-detik kematianku tersebut. Bukan karena aku ingin mati, tapi karena aku pikir, mati di tangan orang terkasih akan terasa lebih baik daripada di tangan musuh. Setidaknya, orang yang terakhir aku lihat adalah dia.
Duniaku berputar. Mataku terpejam untuk meredakan sedikit sakit yang menyerang anggota-anggota tubuhku. Tangan kananku terangkat untuk memijat kepala yang berdenyut denyut akibat membentur lantai sesaat tadi.
Seluruh badanku rasanya nyeri. Pun lidahku bisa merasakan asin darah yang terus mengalir di mulutku. Dengan sisa tenaga yang aku punya, aku berusaha memfokuskan pandanganku ke depan. Pada kasihku tersayang yang sedang menodongkan moncong pistolnya ke arahku.
Dia gemetar. Pistolnya ikut bergetar hebat, membuatku takut akan kemungkinan ia melesat. Ia tidak boleh melesat. Peluru yang ia tembakkan nanti harus tepat mengenai jantungku. Dengan begitu aku akan merasa impas. Dengan begitu, aku akan berjalan ke neraka dengan tenang.
Lalu aku mencoba fokus pada wajahnya. Senyum yang dulu selalu ia berikan padaku tidak lagi disana. Wajahnya basah oleh air mata yang masih terus mengalir. Dadanya kembang kempis. Raut wajahnya menyiratkan kesakitan. Dan isaknya terdengar lirih, tapi dari jarak 10 meter dariku, aku masih bisa mendengarnya.
Aku memberikan senyum terlebar yang kubisa padanya. Sedetik kemudian aku limbung. Berlutut di lantai kotor nan dingin yang akan menjadi lokasi kematianku. Tangan kiriku menahan bobot tubuh agar tidak terjungkal kedepan. Sekali lagi, serangan pening kembali menghampiri kepalaku. Tapi aku tidak punya waktu memikirkannya. Aku kembali mendongak untuk menemui mata bulatnya.
Sayang sekali. Binarnya tertutup oleh uraian air mata yang tidak diperlukan.
"Maaf... Maafin aku, Ay."
Oh, tidak. Suaranya lemah sekali, mencicit serupa anak burung di pagi hari.
Aku menggelengkan kepala, memberitahu bahwa ia tidak salah. Permintaan maafnya sama sekali tidak diperlukan. Satu-satunya yang diperlukan adalah menarik pelatuk pistol di tangannya.
"Sayang, lihat aku." Aku mengeraskan suara saat melihatnya menutup mata. Dia tidak boleh begitu. Aku ingin mati dengan tenggelam dalam tatapnya. "Gak papa. Gak papa. Gak ada tempat buat kita berdua di dunia ini. Aku bakal nunggu kamu dimanapun aku bisa nunggu kamu. Kalau itu berarti di neraka sekalipun."
Aku menghela napas berat. Bisa kurasakan ajal sudah berputar-putar di sekelilingku. Hanya tinggal menunggu saat yang tepat untuk menyerang.
Sekali lagi aku tersenyum padanya. Tapi ia malah semakin mengeraskan tangis. Kalau aku masih punya sisa sedikit saja tenaga, aku akan maju untuk mendekapnya. Sayangnya, untuk bernapas saja seluruh sarafku terasa nyeri.
"It's okay. It's okay, baby. You can shoot me. It's okay."
Suaraku semakin menghilang. Pun kesadaranku yang semakin menipis. Aku memaksa membuka mata namun aku tidak bisa. Mataku terpejam dengan sendirinya. Pemandangan terakhir yang aku lihat adalah dirinya. Walaupun dengan wajah yang kesakitan, itu cukup untukku. Telingaku yang menjadi indra terakhir yang berfungsi menangkap suara tangisnya yang merana. Kemudian suara tembakan itu terjadi.
Di sisa-sisa nyawa terakhir yang aku punya, aku tersenyum menjemput kematianku.
________________
Welcome. For your information, ini akun kedua gue. Dan di akun pertama gue juga punya cerita ongoing. Dan gue mau fokus disana dulu. So, kelanjutan cerita ini bergantung dari sana hehehe.
Kecuali kalau responnya rame, sih. Bisa dikondisikan wkwkwk.I don't beg you. But, is that hard just to click the star button?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Guns On My Back
General FictionNCT MAFIA ____________ Mana yang lebih baik bagimu? Mati di tangan musuh atau mati di tangan orang terkasih, sekalipun itu berarti pengkhianatan? Aku, lebih memilih mati di tangan terkasih. Pengkhianatannya tidak penting. Bagiku yang terpenting ad...