5. Imeji

2 1 0
                                    

Kudengar mahasiswa baru itu masuk pertama kali kemarin, saat aku absen dua hari karena baru pulang dari Bali. Dari penjelasan koordinator kelas, aku dipasangkan dengannya dalam projek kelompok karena sama-sama tidak masuk saat kontrak perkuliahan. Kurasa akan banyak gadis yang iri padaku karena dipasangkan dengan mahasiswa asing yang kalau kata mereka 'produk unggulan', dari segi penampilan tentunya.

Melihat tatapan Melinda di deretan bangku depan, sepertinya dugaanku benar.

Saat ini ia duduk di bangku sebelahku, tak mencoba mengobrol dengan siapapun. Entah karena kesulitan dalam komunikasi, atau adaptasi. Keduanya mungkin-mungkin saja, berhubung aku tidak tahu apakah ia fasih berbahasa Indonesia. Bahasa Inggris? Aksen Jepang agak berbeda dibanding negara lainnya, mungkin akan sulit bagi teman-teman untuk memahami apa yang ia katakan.

Aku yakin ia sudah tahu akan berpasangan denganku saat projek kelompok nanti. Tapi alih-alih mengajak bicara ia justru sibuk dengan pengaturan kameranya. Mencari-cari kesibukan agar tidak ditanya macam-macam. Walau penampakannya seperti social butterfly, ia terlihat kikuk berada di lingkungan baru. Mengesampingkan semua itu, aku memilih menyapa lebih dulu.

"Ano, Yamada-san dayo ne?" ia menoleh ke arahku, sedikit terkejut melihatku yang bisa berbahasa Jepang walau masih sedikit terbawa logat Indonesia. Dari reaksinya, sepertinya dugaanku benar lagi. Dengan ragu-ragu ia menjawabku.

"Hai.." Aku tersenyum, memberinya sambutan selamat datang. Walau sedikit terlambat, setidaknya aku ingin dia merasa nyaman selama di sini.

"Yoroshiku," ujarku mengulur tangan, mengajaknya bersalaman. Dengan itu, ia membalas senyumanku. Satu tangannya terangkat menyambutku kembali.

"Hiroshi de ii yo." Aku mengangguk kecil sebagai jawaban. "Onamae wa?"

"Ah, aku? Alina Citra," jawabku, sedikit kelepasan menggunakan Bahasa. Kening laki-laki kelahiran Jepang itu mengerut.

"Arina Citura?" sepertinya aku lupa perihal ini. Di jepang tidak ada abjad 'L' sehingga kata serapan dari luar biasa dirubah dengan sedikit banyak penyesuaian. Ekspresinya berubah, nampak sungkan karena kurang bisa melafalkan namaku. "Ah, gomen..."

Aku hanya mengulas senyum sebagai balasan, tidak merasa tersinggung sama sekali. "Daijoubu. Arina demo ii yo," jawabku. Sepertinya Arina bukan nama yang buruk.

Tidak ada percakapan setelahnya. Perkuliahan berlanjut dengan kedatangan Pak Surya yang menenteng laptop dan tas besar berisi LCD Proyektor ke dalam kelas.

***

"Rin-chan, hayaku!" teriak Hiroshi yang sudah siap dengan motornya di depan studio, memintaku untuk bergerak lebih cepat. Kukalungkan tas berisi berkas Yuriko-san ke samping sambil berlari kecil menuruni anak tangga. Hiroshi menyambutku dengan helm di tangan, memasangnya di kepalaku begitu aku duduk di jok belakang. Begitu pengaman terkunci, dengan segera ia berbalik melajukan motornya.

"Kau yakin ini jalannya?" sangsiku begitu ia membelokkan motor dari jalan raya menuju jalan kecil samping pembuangan. Berkendara di tempat seperti ini, legal tidak sih?

Ia mengeraskan suaranya agar tetap terdengar walau terbawa angin. "Tentu saja. Boku ni makasete!" dengan motor skuter butut di jalan sepi begini, mana aku bisa percaya? Bagaimana kalau tiba-tiba mesin mati? Atau bagaimana jika tiba-tiba ada gerombolan Yakuza yang menghentikan kami? Aku menggelengkan kepalaku, menepis bayangan konyol yang sempat mampir di kepala. Terlalu banyak menonton film sepertinya telah membiaskan perspektifku terhadap negara ini.

Untung saja apa yang kupikirkan tidak benar-benar terjadi. Kami sampai di area parkir perusahaan Yamada lima belas menit kemudian. Walau dengan motor tua, kami tetap tiba lebih cepat dari biasanya. Jika menggunakan kereta, mungkin waktunya bisa dua kali lipat, termasuk jika harus jalan kaki atau memesan taksi sampai depan kantor.

Hana ga Saku Toki [When the Flowers Bloom]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang