Alarm

247 25 4
                                    

Ohh, kumohon hentikan suara klakson mobil itu. entah sudah berapa kali aku mendengarnya. Suaranya bahkan lebih jelek dari suara alarmku. Tanganku segera meraih bantal yang kugunakan untuk tidur. Sekarang bantal itu sudah beralih fungsi menjadi penutup telingaku.

Lima menit menutup telingaku dengan bantal rupanya tidak menghilangkan suara-suara klakson mobil itu. amerika sudah bangun, artinya aku juga harus bangun. Kuubah posisi tidurku yang tadinya tengkurap menjadi berbaring. Tanganku otomatis terangkat menutupi mataku karena silau cahaya matahari.

Sedikit erangan melengos dari mulutku saat aku berusaha mendudukkan diriku. Kusandarkan kepalaku pada sofa tua yang tadi kugunakan untuk tidur. Walaupun sudah tua, tapi sofa ini masih tetap nyaman untuk di buat sandaran, sungguh.

Kupejamkan mataku sebentar dan kuhirup udara musim panas dalam-dalam. Terbesit rasa perih di dadaku saat udara yang kuhirup memenuhi paru-paruku.  Ku hempaskan udara itu perlahan –lahan bersama beberapa tetes air mataku.

Aku meregangkan sedikit otot-ototku dengan mengangkat tinggi kedua tanganku hingga aku menguap, mengeluarkan sisa kantukku. Setelah merasa lebih enak, aku mengambil sebuah handuk dari jemuran yang tak jauh dari sofa itu dan membersihkan badanku yang sudah hampir seminggu belum kubersihkan.

Setelah sepuluh menit mandi, aku keluar dari kamar mandi dengan kemeja putih yang kubiarkan tanpa di kancing dan celana hitam. Kakiku membawaku ke dapur, dan mataku menangkap sebuah objek menarik disana, kulkas berwarna silver milikku.

Aku membukanya dan melongokkan kepalaku ke dalam. Seketika suhu dingin menyapa kepalaku. Aku menggerakkan kepalaku mencari-mencari apa yang bisa ku santap untuk sarapan.

Roti ? tidak ada. Keju ? tidak ada, tapi ada selai nanas. Untuk apa ada selai nanas kalau tidak ada roti. Bahan makananku ternyata hampir habis di kulkas. Syukurlah masih ada sebungkus jus jeruk utuh disana.

Ku raih jus jeruk itu, lalu kutuang ke dalam gelas. Aku membawa jus jeruk itu menuju balkon lalu bersandar disana sambil meneguk jus jeruk itu hingga tersisa separuhnya. Ku tatap pemandangan dibawah. Tidak terlihat mobil-mobil yang berjejeran karena macet atau terdengar suara klakson mobil semua terlihat biasa saja. Lalu, kenapa suara klakson tadi sangat berisik ?

Aku merogoh kantung celanaku melihat sebuah foto disana. aku tersenyum miris melihatnya. Foto inilah yang membuatku mendengar suara klakson mobil itu.

Aku menghabiskan sisa jus jeruk di gelas dan masuk lagi kedalam mengambil jaket hitam sepanjang lutut dan juga meraih tas gitarku. Akankah aku menemuimu disana ?

Aku mengunci pintu apartemenku dan memasukkan kuncinya ke dalam saku jaketku. Kakiku perlahan menuruni setiap anak tangga disana. apartemen ini sangat sepi,maklum saja karena penghuninya sudah pergi bekerja.

Aku berjalan di jalanan kota, melewati beberapa orang yang juga berlalu lalang. Ada yang satu arah denganku, ada juga yang berlawanan arah denganku hingga terkadang kami berbenturan. Well, itu bukan masalah sepele disini. Time is money.

Aku memasuki sebuah kafe yang biasa kudatangi dulu. Kuletakkan gitarku di kursi yang ada dihadapanku lalu menjentikkan jariku untuk memanggil pelayan. Tak lama, seorang pelayan muda datang menghampiriku

“may I help you ?”

“two coffee latte please.”

Pelayan itu dengan cekatan mencatat pesananku. Aku menolak tawarannya saat ia menawarkan breakfast menu padaku lalu ia pergi.

Tak butuh waktu lama, pelayan itu datang lagi membawa nampan dengan dua cangkir biru diatasnya. Ia meletakkan perlahan kopi itu diatas mejaku.

Aku meraih pinggiran gelas itu dan menatapnya getir. Aku lupa, aku hanya datang bersama gitarku. Biasanya disaat seperti ini, dia sudah ada di hadapanku dan berbicara banyak soal temannya, pekerjaannya, bahkan kekasihnya. Sekarang bukan seperti itu lagi keadaannya.

Aku menghela nafasku lalu meneguk secangkir coffee latte itu hingga habis dalam satu tegukan lalu berjalan keluar meninggalkan kafe itu. meninggalkan secangkir coffee latte disana beserta kenangannya.

Tanpa terasa, aku mengelilingi kota ini hingga malam. Aku berjalan jauh hingga aku tidak mengingat lagi jalan pulang ke apartemenku. Yang kuingat hanya kenangan menyakitkan itu.

Aku duduk disana, di sebuah kursi di pinggir jalan yang memang disediakan untuk istirahat para pejalan kaki. Ku ambil gitarku dan kupetik beberapa nada disana. tanganku mulai bergetar lalu berhenti memetik benang-benang gitarku.

Bibirku bergetar menahan rasa sakit di dadaku yang sudah menumpuk sepanjang perjalanan tadi. Ku ambil nafas panjang dan ku genggam erat batang gitarku. Seulas senyum miris terukir di wajahku.

Sepertinya memang harus begini

BRAK !! BRAK !!

Kumohon ! berhenti membuat pikiranku kacau !

Dengan sekuat tenaga aku membanting gitarku berkali-kali, mengeluarkan semua kenangan yang harus ku hapus.

BRAK !!

aku sudah tidak bisa berpura-pura lagi ! Aku juga ingin menatap ke depan !!

BRAK !!

Bodoh ! aku akan bangun sekarang !

 Aku melepas genggamanku dari gitar itu setelah merasa puas menghancurkan gitar itu.

Aku mengusap wajahku dan duduk lemas di kursi tadi. Butiran air mata itu kembali keluar dan semakin deras seiring dengan isakan keras dari mulutku.

Tanganku sesekali memukul keras kursi yang terbuat dari besi pipih yang tersusun. Aku tidak peduli bagaiamana orang yang lalu lalang melihatku menangis malam-malam di pinggir jalan. Yang penting semua rasa sakitku akan hilang nantinya bersama air mataku yang mengalir deras.

Aku akan bangun dan kau hanya mimpiku selamanya.

Aku mendongak dan membuang nafas lalu tersenyum miris. Ruangan itu sudah sedikit terbuka di hatiku.

~Alarm~

AlarmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang