Laurena's POV
“Laurena, di mana rapormu? Mama mau lihat hasilnya!” seru ibuku yang terdengar menaiki tangga menuju kamar. Dalam kecepatan kilat, ibuku sudah membuka pintu kamar yang menunjukkanku mencoba menutupi buku novel yang sedang dibaca.
“Hehe … hai, Ma. Cepet banget sih jalannya!” keluhku yang kembali berbaring di kasur.
“Kebiasaan ya. Mama udah bilang belajar dulu, baru baca! Kan baca novel bisa kapan-kapan lagi. Giliran nilai jelek, gak bakal bisa diulang!”
“Kan masih ada remedial.” Ibu menatapku dengan tajam sebelum mengacak-acak tasku.
“Ketemu!”
Aku memajukan bibirku dengan kesal dan mengesampingkan buku novelku. Aku tidak akan bilang kalau hasil ujianku buruk, tapi nilaiku tidak bisa dikatakan bagus. Jika nilai pas-pasan itu lumayan, aku masuk dalam kategori di atas ekspetasi sedikit. Namun mengetahui sifat ibuku, dia pasti akan marah besar melihat nilai-nilai itu, terlebih jika ria melihat nilai matematikaku. Kedua tanduknya akan langsung muncul pasti!
“45? Nilai matematika dapet 45? Laurena! Mau jadi apa kamu nanti? 45 itu jelek banget!”
“Tapi, Ma ….”
“Nggak ada tapi-tapian! Pokoknya mulai besok novel kamu bakal Mama sita! Wifi rumah juga bakal diputus dari HP kamu! Komputer pake punya Mama di kamar! Ngerti?” Aku hanya menundukkan kepala mendengar ini semua. “Mama tanya, kamu ngerti apa nggak?!”
“Iya, Ma.”
Begitu ibuku keluar dari kamar dengan membanting pintu, aku segera merebahkan tubuhku di kasur. Menyebalkan! Sekarang aku tidak memiliki mood untuk kembali membaca! Padahal cerita yang kubaca sedang seru. Sungguh sial! Mengingat Ibu akan memutus wifi dari ponselku, aku putuskan untuk menghabiskan hariku degan menonton vidro di youtube dan instagram.
Ketika ayah pulang, ibu menceritakan tentang nilai-nilaku yang kudapatkan dalam ujian di meja makan. Tentu ini membuatku kehilangan nafsu makan. Ayah hanya terkekeh ketika melihat responsku yang mengaduk-aduk makanan. Ibu tidak kunjung berhenti sehingga ayah tertawa. Ibuku memarahi ayah yang justru tertawa mendengar omelannya itu, berkata kalau dia terlalu lunak dan memanjakan diriku sehingga aku tidak pernah menganggap belajar sebagai sesuatu yang serius.
“Jangan begitu. Tidak setiap anak pintar dalam matematika. Tidak semua orang pintar dalam bahasa. Kita hanya belum menemukan bakatnya saja.”
“Dia sudah lima belas tahun! Sebentar lagi akan enam belas! Dia harus segera menemukan apa yang dia inginkan!”
“Bukankah itu gunanya dia sekolah? Untuk menemukan ingin menjadi apa dia ke depannya?”
Mendengar ini ibuku langsung terdiam. Sebuah senyum kemenangan terukir di bibir ayahku dan dia segera menatapku yang mengintip. Ayah memberi sebuah wink dan senyum jahil, membuatku tertawa sedikit. Ibu yang mendengar suara tawaku langsung menatapku tajam sehingga aku lagi-lagi menundukkan kepala dan menatap makananku. Di saat seperti ini tidak baik membuat ibu semakin marah, berpura-pura menurut adalah cara terakhir yang bisa kulakukan.
Meski ayah sudah berbicara kepada ibu, dia tetap tidak mau menarik ucapannya. Dia akan tetap menyita novelku dan memutus sambungan wifi untukku. Hidup tanpa wifi terasa hidup tanpa sebuah cahaya dalam kamar gelap. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana jadinya aku tanpa ada wifi hingga ulangan harian matematikaku. Dengan kata lain, aku bisa mati kebosanan karenanya.
***
“Lu tau kan si itu mau konser di indo?”
“Hah?! Sumpah? Ih gua mau nonton! Tapi pasti tiketnya mahal!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars To Your Beautiful {END}
Teen FictionEveryone has a story that they never tell others, even the closest person Tidak semua orang akan bertahan hidup dengan penuh tekanan, tidak terkecuali mereka. Tuntutan yang dimiliki oleh setiap manusia akan mengubah sikap setiap orang. Keinginan unt...