Chapter 8 - Two Face? Everyone Is!

43 20 7
                                    

Oliva's POV

Samuel yang sibuk dengan mainannya tidak memandang ke arahku sama sekali walau aku membuat keributan. Namun, mainannya juga mengeluarkan musik yang terlalu nyaring. Sandbag yang ada di hadapanku terus berputar karena pukulan yang terus kulontarkan. Semua emosi yang kurasakan kutumpahkan pada benda di hadapanku. Jika Daniel tau, dia pasti akan langsung memarahiku atas perbuatan ceroboh ini.

“Liv?” Samuel menghentikan game-nya dan menghela napas. “Kompetisinya dua hari lagi, kan? Masih ngeluarin tenaga segitu banyak? Belom makan juga, kan?”

Aku memberi pukulan terakhir kepada sandbag di hadapanku. “Tidak ada waktu,” gumamku. “Tidak ada waktu untuk bermalas-malasan.”

“Cukup!” bentak Samuel yang memegang sandbag itu dengan satu tangannya. “Ada masalah apa lagi di sekolah? Lu udah … mohon buat pindah, dan sekarang pas kita semua udah hampir terbiasa ….”

“Bacot!”

Tak segan-segan aku memukul perut Samuel yang terasa sangat kokoh. Dia mengerang sedikit sebelum menggenggam tanganku. Matanya berapi-api dan saat itulah aku baru sadar apa yang telah aku lakukan. Samuel menggenggam kedua tanganku dengan kuat, terlihat rasanya dia ingin memukulku, tapi dia menahan dirinya. Benar, jika bukan ayah yang melakukannya, Samuel akan dengan sukarela melakukannya.

Dengan kasar, Samuel melempar tanganku turun dan berbalik. Dia kembali bermain game-nya, namun dia mengencangkan suaranya. Dia tau kalau tidak tahan dengan suara bising, terlebih suara deru mobil. Kuambil botol yang ada di lantai dan kutinggalkan dia sendiri. Memang benar, akan lebih baik jika aku tidak ada di sini atau di mana pun, karena tidak ada yang membutuhkanku.

Rachelle yang biasanya berisik di group chat hari ini tidak mengatakan apa-apa. Aku butuh pengalihan, tapi aku tidak mau jadi orang pertama yang mengirim pesan di sana. Dan mengetahui Raquel, tentu dia juga akan melakukan hal yang sama. Nama Rena terlintas di benakku, tapi aku menghapusnya secara instan. Tidak, aku tidak seputus asa itu untuk mencari dia sekarang.

“Nona Carter?” Pengurus rumah yang biasa, Steve, tiba-tiba berada di sampingku. Tanganku yang kusandarkan di pagar balkon kutarik ke belakang punggung. “Ini sudah malam, lebih baik Nona masuk atau Anda bisa sakit.”

“JIka aku sakit aku hanya merepotkan yang lain, ya? Hanya … beban tambahan.” Aku tersenyum pahit sembari menatap lantai. Steve berjalan ke sampingku dan menatap langit.

“Nyonya selalu ingin memiliki seorang putri. Putri yang cantik, kuat dan selalu tersenyum. Saat Anda lahir, nyonya hampir menceritakannya ke seluruh orang …. Ya, ini adalah kesalahan pertamanya. Tapi di mana pun nyonya sekarang berada, saya yakin dia ingin Anda tersenyum.”

Steve memang bekerja untuk keluarga Carter sejak lama. Dia yang paling tau apa saja yang terjadi di dalam keluarga ini. Loyalitas? Ayah membayarnya cukup banyak, katanya itu harus bisa membuatnya tutup mulut. Aku sendiri bahkan tidak tau apa aku bisa mempercayai Steve atau tidak, tapi dia selalu menceritakan tentang ibu yang perlahan-lahan mulai aku lupakan.

Di antara kami hanya ada kecanggungan sebelum Steve memberiku jaket yang kutinggalkan di kursi balkon. Mengapa dia masih peduli kepadaku? Bahkan Samuel saja merasa muak dengan diriku, ah, tidak. Bahkan aku juga merasa muak dengan diriku sendiri. Jika aku bisa menghilang, tentu aku sudah melakukannya sejak lama. Apa aku harus mencobanya agar tau jawabannya?

“Berjalan-jalan lah malam ini. Kalau tuan pulang tiba-tiba, saya akan membuat kebohongan untuk Anda. Tuan Samuel juga tidak akan masalah.”

“Ya, karena dia tidak peduli jika adiknya yang membunuh ibu tercinta pergi selamanya.” Balasanku sepertinya menyakiti perasaan Steve karena dia memberiku sebuah senyum kecut, berbeda dari dirinya yang biasa.

Scars To Your Beautiful {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang