Enam Belas

61 3 0
                                    

Penjelasan | Dani Prawira

Rasanya pikiranku masih sepanjang perjalanan untuk sampai ke rumah sakit, perjalan yang penuh dengan lika-liku dan drama itu sungguh membuatku pusing tujuh keliling. Pikiranku bertambah kalut saat melihat dua orang gadis yang tengah mengabdi di tanah perbatasan ini mengalami luka yang cukup parah. Aku juga gemetar saat melihat seragam yang Azka kenakan awalnya berwarna biru, tetapi kini telah berubah warnanya dan berlumuran dengan darah.

Sesampainya di rumah sakit, Azka dan Devi langsung dibawa masuk ke UGD. Sedangkan aku, Wildan dan yang lainnya menunggu di luar ruangan. pikiranku masih kalut sedari tadi. Bagaimana kondisi di sana? Bagaimana keadaan Alif, Rangga dan rekan-rekan tentara yang lainnya? Apakah para pemberontak itu telah dikalahkan atau malah sebaliknya? Entahlah intinya aku hanya bisa berdoa memohon kepada yang Maha Kuasa untuk keselamatan mereka semua, termasuk para warga di sana dan anak-anak yang menjadi sandera pemberontak itu.

"Kopi Bang." kata Wildan yang sudah berdiri di depanku dan menyodorkan secangkir kopi yang masih mengepul.

Aku membenarkan posisi dudukku lalu menerima secangkir kopi pemberian Wildan dan menyesapnya. Sudah lima belas menit dokter yang memeriksa tak kunjung keluar juga. Apakah lukanya begitu parah? Sampai-sampai memakan waktu yang cukup lama hanya untuk sekedar memeriksanya?

Hingga tiga puluh menit berlalu, dokter yang memeriksa barulah keluar. Aku langsung berdiri dan bertanya padanya, "Bagiamana dokter?"

Dokter itu melepas kacamatanya, "pasien atas nama Deviana Rustaningsih tidak sadarkan diri karena diberi obat bius dengan dosis yang lumayan, jadi sampai sekarang pun masih belum sadarkan diri kita tunggu saja besok."

"Lalu bagaimana dengan Azka?" tanyaku tak sabaran.

"Sedangkan pasien atas nama Azka mengalami mimisan karena kelelahan, selain itu pasien juga mengalami dehidrasi serta anemia."

"Lantas kenapa jika hanya mimisan pakainnya sampai berlumur darah? Apakah mimisannya sangat parah?"

"Tidak hanya mimisan, Pak. Tetapi pasien juga mengalami pendarahan dipelipisnya, berdasarkan pemeriksaan pendarahan itu disebabkan karena pasien dipukul dengan cukup keras hingga mengalami pendarahan di pelipis." terang dokter itu yang membuatku semakin kalut dan takut.

"Boleh saya masuk Dok? Saya ingin melihatnya." celetuk Wildan.

"Sementara ini ditunggu diluar dulu saja, Pak. Kondisi kedua pasien cukup parah dan membutuhkan istirahat, terlebih pasien atas nama Azka Nindya yang harus beristirahat dengan total. Pasien dosa dijenguk nanti setelah dipindahkan ke ruang ICU."

"Baik Dok." pungkasku dan meninggalkan raut kecewa dari Wildan.

Kulihat Wildan tengah duduk dan memejamkan matanya, sedangkan para tentara lain sedang sibuk dengan urusan administrasi dan sibuk memantau kondisi di wilayah itu.

Aku berjalan menuju jendela, dari sana aku bisa melihat Azka dan Devi sedang terbaring lemah. Meskipun dari celah-celah jendela, aku tetap bisa melihat kepala Azka yang terbalut perban dan di pelipis sebelah kirinya masih berdarah hingga membasahi perbannya. Sedangkan Devi tidak ada luka yang parah, hanya luka lecet kecil saja di kedua lengan tangannya dan di punggung kakinya, tetapi Devi belum sadarkan diri sampai sekarang karena disisi obat bius yang lumayan banyak.

Kringgg ....

Aku merogoh sakuku ketika ponselku berdering. Tanpa melihat nama orang yang menelponku, aku langsung mengangkatnya.

"Halo." sapaku.

"...."

"Bagaimana? Apa semuanya baik-baik saja?"

"...."

"Oke, segera infokan ke saya nanti."

Tuttt ....

Panggilan terputus dan kumatikan ponselku, aku sangat bersyukur karena prajurit yang tengah menghadapi pemberontak itu selamat dan utuh. Ya, meskipun ada beberapa luka kecil dan memar yang menghiasi tubuh mereka, tetapi itu tak apa sudah biasa bagi prajurit seperti kami.

"Loh Sus, mau dibawa kemana ini?" tanyaku pada suster jaga yang tengah mendorong brankar Azka dan Devi.

"Maaf, Pak pasien ini akan dibawa ke ruang ICU. Jika Bapak ingin menjenguknya, mari ikut kami." kata suster itu.

Aku dan Wildan segera mengikuti suster itu pergi,"Kita mau kemana Bang?" tanya Wildan.

"Ke ICU." jawabku singkat.

Sesampainya di ICU, kami tidak diperbolehkan langsung masuk dan terlebih dahulu harus menunggu di luar ruangan sampai dokter selesai memeriksa. Lima belas lamamya kami menunggu di luar rungan ICU, akhirnya dokter keluar.

"Bagiamana Dok? Apa saya boleh masuk?" tanyaku begitu dokter keluar dari ruangan sambil menutup kembali pintu.

"Kondisi pasien sudah membaik, silakan. Saya permisi dulu."

Setelah kepergian dokter itu, aku dan Wildan langsung masuk ke ruang ICU itu. Terlihat Azka sudah sadarkan diri dan tengah memijat kepalanya.

"Jangan ditekan terlalu kuat Azka." cegahku sambil berjalan menghampiri Azka.

"Azka?" gumamnya pelan dan heran.

"Iya, Azka. Saya tahu kamu Azka Nindya kekasih dari Alif Prayoga. Benar 'kan?" kataku yang sukses membuat gadis di depanku ini ternganga lebar.

"Darimana Abang tahu?" celetuk Wildan yang sudah duduk di samping brankar Devi.

"Kalian semua tidak perlu tahu jika aku mengetahui ini dari siapa, itu tidak penting." kataku yang membuat semu terdiam.

"Saya tahu selama ini kalian bermain sandiwara di belakang saya."

"Bang-"

"Ssst ...."

Aku kembali menatap mereka satu persatu, "Kenapa kalian semua lakukan ini? Kenapa? Kenapa Azka?"

Hening, iya, semua berubah menjadi hening. Dari situasi awal yang mencekam dan berselimut dengan kegelisahan dan kekhawatiran, sekarang berubah menjadi keheningan.

"Apa kalian membeci saya? Sebegitu besarkah rasa benci kalian terhadap saya?" kataku pelan, namun penuh emosi.

"Bang ... akan saya jelaskan." kata Wildan.

"Apa yang mau kalian jelaskan, hah?" kataku yang masih emosi.

Sampai sebuah tepukan kecil mendarat di bahu kananku yang langsung membuatku membuatku menoleh begitu saja.

"Mari kita bicarakan ini dengan baik-baik, Bang. Kita selesaikan ini dengan kepala dingin." ucap Azka yang ampuh untuk meredakan emosiku.

Ya, walaupun aku tahu Azka juga telah untuk berusaha menutupi semuanya dan bersandiwara di belakangku. Namun aku emosiku mereda setelah melihat tatapan matanya dan mendengarkan suaranya yang mendayu.

Azka mulai berbicara, menjelaskan semuanya yang telah terjadi dari awal sampai akhir. Sampai dia pernah bertemu denganku saat pulang dari mengajarnya hingga sampai dia dipertemukan kembali dengan Alif. Dan saat itulah Azka dan Alif telah berkomitmen untuk saling menjaga satu sama lain dan untuk selalu bersama dalam situasi apapun.

Aku terdiam, dan tak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka semua, karena aku juga sadar jika perasaan itu tak.bisa dipaksakan. Namun disatu sisi aku juga mencintainya, dan ingin hati memelikinya sekarang dan selamanya.

Maaf ya, semakin ke sini semakin gak jelas karena insyaallah judul cerita beserta deskripsinya mau saya ganti. Sekali lagi maaf atas ketidak nyamanannya, jangan lupa kritik dan sarannya ya, teman-teman. Apapun kritik dan saran kalian akan saya terima dengan ikhlas, bisa di kolom komentar ataupun secara pribadi di akun wattpad ini.
Terima kasih telah meluangkan waktu untuk membaca cerita gak jelas ini hehe.










Ssst! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang