Bapak dan Secangkir Teh Pahit

23 1 0
                                    

Karya : Lia Sylvia Dewi

Bapak punya penyakit gula--diabetes. Beberapa bulan ini sangat membatasi asupan makannya. Sedih sekali melihat Bapak tidak lagi bisa merasakan makanan manis, padahal dulu beliau sangat suka makan brownise--buatanku, atau secangkir kopi caramel kreasi Ibu. Sekarang, Bapak cuma bisa minum secangkir teh pahit setiap pagi, sambil duduk dan menunggu munculnya matahari.

"Pak, kenapa banyak hal manis di dunia ini justru bawa penyakit ya?"

"Kakak lagi patah hati?" Tanya Bapak menggoda, aku cuma nyengir kuda.

"Bukan, Pak."

Bapak menyeruput tehnya, sedikit meringis. Mungkin terlalu panas, terlihat dari caranya menyimpan cangkir di meja dengan hati-hati. Beliau mengusap kepalaku sambil tersenyum-senyum setelah itu.

"Bukan hal manis yang bawa penyakit, Kak. Tapi ketidakmampuan kita." Kata Bapak mengawali percakapan. Aku terdiam dan menanti beliau melanjutkan.

"Kadang kita tidak mampu untuk menerima setiap hal dengan wajar, tidak mampu untuk mengharapkan setiap hal dengan wajar, tidak mampu untuk menikmati setiap hal dengan wajar. Kita yang tidak mampu, Kak."

Bapak menjauhkan tangannya dari kepalaku--membenarkan kacamata yang merosot. Uban sudah memenuhi hampir separuh kepalanya, aku tersenyum sendu. Setiap hari, umur Bapak terus berkurang dan aku belum banyak membuat lengkung bahagia di garis bibir beliau.

"Kakak tau apa yang ingin Bapak lakukan ketika Eka meninggal dalam kandungan?"

Aku menggeleng. Eka adalah nama almarhum kakakku. Ibu keguguran saat pertama kali mengandung, padahal butuh lima tahun untuk menanti janin itu hadir. Tapi bahkan sebelum melihat dunia, kakakku itu telah lebih dulu dipanggil oleh-Nya.

"Bapak ingin sekali menukar nyawa dengan bayi itu. Bapak tidak siap kehilangan," Suara Bapak melirih, "Membayangkan bagaimana kecewanya Ibumu saat bangun dari operasi, kecewanya kakek dan nenek yang sudah lama menanti, kecewanya para tetangga dan kerabat yang sudah sangat berambisi--semuanya menyakitkan. Beberapa hal seperti kehamilan itu adalah buah yang manis, tapi tak jarang yang berakhir dengan busuk."

Sekarang gantian, aku mengusap bahu Bapak yang melemah. Tersenyum menatap matanya. Beliau ikut menatapku. Dan tersenyum sendu.

"Tapi, Kak, penting bagi seorang pria untuk memikirkan segala sesuatu sebelum bertindak atau berbicara."

Aku tersenyum, mengangguk samar. Beliau melanjutkan, "Semenjak menikah dengan Ibumu, Bapak harus paham bahwa yang harus Bapak perjuangkan bukan lagi tentang diri sendiri, bukan juga cuma tentang Ibu. Ini tentang dunia kita berdua yang begitu luas."

"Apa hubungannya dengan hal manis yang menyakitkan?"

"Saking terlenanya dengan kabar kehamilan Ibu, kami tidak sadar bahwa segala yang ada di dunia ini cuma titipan. Segala yang titipan itu bisa diambil kapan saja, Kak, mau kita siap atau tidak, mau kita ikhlas atau tidak. Segala hal manis itu tetap manis. Yang menyakitkan adalah ketika kita tidak mampu untuk menikmatinya secara wajar, sedangkan hal itu bisa kapan saja hilang."

Ibu datang membawa kukusan pisang. Bapak membisikan sesuatu kepadaku, "Bahkan Ibu juga cuma titipan. Tugas Bapak hanya menjadikan dia calon bidadari surga, yang akan menyambut Bapak kelak dengan kemuliaannya."

Hatiku berdesir. Akhir-akhir ini Bapak dan Ibu lebih sering bangun di sepertiga malam, pernah kupergoki Bapak sedang bercerita dan Ibu tidur di pangkuannya sampai subuh. Aku tersenyum menatap Ibu dan Bapak bergantian.

"Ih, gosipin Ibu yaa?" Ibu mencubit lengan Bapak pelan, sedangkan Bapak menggenggam tangan Ibu dan mengajaknya duduk berdampingan.

Aku bersumpah. Aku ingin suami yang seperti Bapak.

RANGKAI [KUMPULAN CERITA PENDEK]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang