Seperti masih ada, hanya saja terlihat ilusi.
-FarisPatah hati tidak selamanya tentang cinta, bagaimana soal keluarga?
-Thafa
_______Vote and comment 🦋✨
_________________"Hubungan Lo sama Thafa baik-baik saja kan?" Hanif membuka helm-nya, dan beranjak duduk di bangku yang disediakan di depan bengkel tempat kerja Faris.
"Tumben banget Lo nanya." Faris berjalan menghampirinya, membawa segelas kopi.
"Karena Gue udah jarang banget ngeliat kalian bareng."
"Nih minum dulu!" Faris ikut duduk di samping Hanif, kebetulan saat ini waktu istirahat kerja.
"Gimana ya, Nif. Seperti masih ada, hanya saja terlihat ilusi. Gue juga heran sama Thafa, dia berubah da-" ucapannya terpotong karena Hanif tiba-tiba menyemburkan kopi dari mulutnya.
"Prffttt!! Ini kopi apa jamu? pahit banget. Jangan-jangan Lo nyampur kopinya bukan pake gula, tapi pake kisah Lo yang pahit. Hhhaa," ledek Hanif yang dibalas wajah masam oleh Faris.
"Udah! Minum aja yang ada, gula di belakang habis."
"Gimana-gimana, cerita Lo tadi?" Tanya Hanif bingung.
"Thafa berubah, Nif. Semenjak kejadian Thafa dan Dara waktu itu, Thafa kayak ngehindar dan ngejauhin Gue." Faris memain-mainkan kunci motornya.
"Menurut Gue nih ya, Lo nggak seharusnya ngebentak Thafa kayak waktu itu, apalagi saat itu banyak orang-orang. Selain itu, seharusnya Lo juga ngedengerin penjelasan dia dulu. Jadinya dia kayak ngerasa gak di hargai dan ngerasa Lo lebih memihak orang lain daripada dia."
"Lo benar, Nif. Waktu itu Gue udah gak bisa berfikir jernih. Apalagi, sebelum kejadian itu hubungan Gue dan Thafa udah renggang. Di tambah kejadian ini, makin rumit."
"Jadi Lo udah nyerah, gitu?" Tanya Hanif menyeruput kopinya.
"Gak tau."
"Jangan nyerah gini dong, Ris. Masa ngejar Thafa selama kurang lebih 3 tahun Lo bisa, sedangkan ngehadapi masalah segini aja Lo gak bisa? Sebenarnya sedalam apasih Lo mencintai Thafa?"
"Takdir tidak pernah bertanya, sedalam apa kita mencintai seseorang." Ujarnya menatap lurus ke depan.
"Sabar ya bro. Setiap hubungan itu gak selalu mulus, Gue tau Lo kuat hadapi semuanya." Hanif menepuk pelan pundak Faris. Sebagai seorang sahabat yang baik, dia memang harus bisa selalu ada dikala senang, apalagi disaat sedih seperti ini.
"Gue telihat kuat secara fisik, namun terbunuh secara mental." Faris berdiri meninggalkan Hanif sendiri, karena sudah waktunya Ia bekerja kembali.
"Huuh, nasib jadi jomblo, di tinggal melulu." Hanif menggerutu, memutar kedua bola matanya malas.
•••
"Nanti pas lulus, kamu mau lanjut di mana Dara? Di Indonesia atau di New York?" Tanya Abriana.
"Di Indonesia aja deh tante, biar bisa bareng Faris." Cengirnya.
"Dasar anak remaja jaman sekarang. Andai, tante punya anak seperti kamu." Abriana tertawa bersama Dara dan juga Athala.
Thafa menghampiri Ayah dan Ibunya yang sedang bergurau di ruang keluarga bersama Dara. "Ayah, Ibu, Thafa boleh nggak lanjut kuliah?" Tanyanya.
"Emang mau dapat biaya dari mana?" Ketus Abriana, dengan Dara yang juga tersenyum mengejek.
"Thafa akan kerja kok bu, buat biayain kuliah Thafa."
"Gak usah! Kamu mending tinggal di rumah saja, bantuin Mbok Minah beres-beres." Sahut Athala, yang membuat Thafa terdiam.
"Yaudah yuk Ayah, kita berangkat sekarang! Keburu acaranya di mulai." Abriana dan Athala pergi setelah mengusap rambut Dara, sedangkan Thafa yang ingin mencium tangan mereka tak dihiraukan.
"Hati-hati Om, tante."
Malam ini, Dara begitu suntuk di rumah karena sedari siang, Athala dan Abriana belum juga pulang. Alhasil Ia hanya menonton televisi di ruang tamu, sambil terus-terusan mengemil.
"Non Dara, tolong buang sampahnya di tempat sampah yang ada di samping non. Mbok, capek memungutnya." Keluh Mbok Minah, karena sudah berkali-kali Dara makan cemilan dan membuang asal tempat bekasnya.
"Mbok ngatur saya? Berani ya mbok!" Dara ingin menampar mbok Minah tapi, tangannya berhasil di jegat oleh Thafa.
"Lo jangan jadi ringan tangan dong, mbok Minah cuman nasihatin Lo, seharusnya Lo lebih hormat pada orang lebih tua daripada Lo." Bentak Thafa tak terima Mbok Minah diperlakukan seperti itu.
"Ada apa ini ribut-ribut?" Athala yang baru saja datang bingung dengan kejadian ini.
"Tante, om, hikss!! Thafa nampar Dara, hanya karena dia cemburu kalau Dara akan di kuliahin. Sedangkan mbok Minah juga marah-marahin Dara dan membela Thafa, hikss!!" Sekian kalinya Dara ber-acting dengan air mata buayanya. Ia langsung mendekap di pelukan Abriana.
Sedangkan Thafa hanya memutar kedua bola matanya malas, melihat Dara yang sudah berulang kali berbohong dan menuduh dirinya.
"THAFA!!" Athala ingin menampar Thafa, tapi Ia urungkan. "KALI INI, KELAKUAN KAMU TIDAK BISA SAYA MAAFKAN LAGI, MULAI SAAT INI SAYA MAU KAMU ANGKAT KAKI DARI RUMAH INI, BERSAMA MBOK MINAH!!" Gertaknya.
Thafa hanya tersenyum, yang membuat semuanya heran. "Haha kirain mau di hukum tidur di luar lagi. Eh taunya ngehukum hukuman yang udah lama Thafa tunggu-tunggu."
"SUDAH BERANI YA KAMU MELAWAN?" Kali ini adalah gertakan Abriana, yang masih setia memeluk Dara.
Thafa menggandeng tangan Mbok, berjalan kearah belakang tak memperdulikan gertakan ayah dan ibunya.
"MAU KEMANA KAMU?" Athala geram dengan sikap Thafa yang sudah mulai berani membantah.
"Cuman mau ngambil barang-barang kami. Tenang saja! Kami tidak akan mengambil satupun dari barang yang ada di rumah ini, karena bagi saya kasih sayang mbok Minah lebih berharga dari semua itu." Ujarnya tanpa membalikkan tubuhnya sedikitpun.
Setelah mengambil barang-barang mereka, mereka langsung keluar rumah tanpa berpamitan sekalipun. "Oiya, pesangon mbok Minah di sedekahin buat Dara aja, yang haus akan kasih sayang dan rela ngelakuin hal licik demi mendapatkan obsesinya. Satu lagi, jangan lupa cek cctv! Buat liat siapa yang ngibul." Teriak Thafa dari arah pintu yang membuat Adara geram.
•••
Thafa dan mbok Minah sudah berada di sebuah kontrakan sederhana yang kebetulan tak jauh dari sekolah Thafa.
"Mbok minta maaf ya non, gara-gara ngebelain mbok-"
"Sstt!! Mbok gak usah minta maaf. Udah kewajiban Thafa ngebela mbok."
"Tapi ngontrak disini, mbok tidak punya uang. Mbok takut tidak bisa membayarnya."
"Tenang saja mbok! Thafa punya tabungan yang InsyaAllah cukup untuk kita berdua selama beberapa bulan kedepan." Thafa menggenggam tangan mbok Minah seraya meyakinkannya.
"Alhamdulillah."
"Pengumuman kelulusan Thafa besok. Setelah itu, Thafa bebas untuk cari kerja, bermodalkan ijazah." Tuturnya, "Mending Mbok Minah tidur saja! Thafa mau kedepan sebentar, mau cari angin." Imbaunya, yang diangguki mbok Minah.
Thafa menatap jendela rumah, melihat deras turunnya hujan. Namun, Ia tidak bisa membohongi perasaannya jika saat ini Ia sangat merindukan Faris.
Satu persatu kenangan mulai berkelebatan di benaknya. Ia tak henti memikirkan Faris. Ia rindu cara Faris tertawa, caranya tersenyum, caranya berjalan, caranya menggoda, caranya mengejek, perhatiannya dan aroma parfumnya. Thafa sangat merindukan Faris di setiap waktu.
Namun, bukankah Ia tidak boleh egois seperti ini?
Karena saat ini keadaannya sudah berbeda. Bahkan, merindukan Faris adalah kebiasaan buruk yang harus Ia hilangkan.TBC
Ahad, 17 Januari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Dilemma ✓
Подростковая литература[FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] Jika orangtuaku tidak menginginkanku dan kamu ternyata bukan milikku, lantas atas tujuan apa kakiku berpijak di bumi? Karena sepertinya, langitlah yang lebih menginginkanku dan tanahlah yang akan tulus mendekapku. ~ Startin...