ii.v. rentang kita: akhir yang berawal

144 22 56
                                    

Yang menyaksikan suka dalam diam adalah kita. Yang diam-diam saling menyukai juga adalah kita. Akan tetapi, bisa saja itu pun bukan kita. Mungkin hanya aku, atau juga hanya kamu. Ternyata, kita memang senaif itu. Kita tidak bisa saling jujur. Padahal, jika salah satu dari kita ada yang memulai, bisa saja jalan yang akan kita lalui berbeda.

Ia mesti bersyukur kepada semesta dan kita yang sama-sama saling diam saat itu. Jika bukan kerena ulahnya, cerita ini pasti tidak pernah benar-benar ada. Tidak ada yang namanya benar atau salah dalam kepastian. Kita bisa tersenyum lapang hari ini bukan berarti besok tidak akan menangis. Semua jawaban atas pilihan adalah tawa dan lara. Waktunya saja yang datang bergantian.

Damara dan rekan kerjanya sudah sampai di hotel tempatnya menginap sejak pagi tadi. Semesta sudah mulai menunjuk pukul sebelas. Akan tetapi, tidak ada yang Damara lakukan selain tidur dan rebahan di dalam kamar. Hanya ada ia. Teman satu kamarnya entah sedang berada di mana.

"Sial. Apa cuma aku yang lebih suka menikmati perjalanan daripada liburannya?" tanyanya seraya mengambil napas panjang dan mengembuskannya perlahan.

Sebenarnya, tidak ada tempat yang ingin Damara kunjungi selama ia di Jogja. Ia hanya penasaran seperti apa suasana kota Jogja itu. Ternyata suasananya cukup panas dan berhasil membuatnya malas berjauh-jauhan dengan pendingin ruangan. Selama ini, Bandung terlalu memanjakkannya.

Hari pertamanya di Jogja justru ia habiskan untuk beristirahat sendirian. Lagi pula, semua rombongan sudah sepakat akan mulai berkeliling besok.

"Apa Naya juga sudah sampai di Jogja?"

***

"Haaa ... akhirnya sampai juga ...," ucap Abil sambil mengembuskan napas lelah.

"Kayaknya kamu lelah banget, ya, Bil," celetuk Raihan dan terkekeh setelahnya.

"Ya iyalah, Kambing. Yang nyetir semalaman, 'kan, aku. Kalian semua malah enak-enakan tidur nyenyak."

"Ya maaf."

Satu jam setelah Damara sampai, Abil, Raihan, Naya, dan Riska langsung membaringkan raga di kamarnya masing-masing. Perjalanan ke Jogja ternyata membutuhkan lebih banyak energi dari yang mereka kira. Akan tetapi, itu menyenangkan. Walau pada akhirnya mereka semua harus terbaring seperti orang sakit.

Namun, sejak semalam kepala Naya selalu saja dipenuhi oleh Damara. Tidak tahulah kenapa laki-laki itu memaksa untuk selalu ada di pikirannya. Rasanya benar-benar aneh seperti sebuah senyum yang terbit di antara kebingungan-kebingungan.

"Ris," panggil Naya.

"Kenapa, Nay?"

"Kira-kira, aku bisa ketemu sama Damara nggak, ya?"

"Bisa, Nay. Aku pastikan bisa."

"Aneh nggak, sih, Ris aku selalu kepikiran sama Damara? Padahal aku bukan siapa-siapanya."

"Hmm ... enggak, sih, menurutku."

"Alasannya?"

"Ya wajar aja orang yang lagi jatuh cinta kepikiran gebetannya mah. Aneh kamu, Nay."

"Ih bukan gitu."

"Terus gimana?"

"Ah, tahulah. Pokoknya gitu."

"Terserah kamulah." Riska memutar bola mata malas. Sedang Naya, malah mencak-mencak sendiri.

Hari pertama peraduannnya dengan Jogja, Naya habiskan dengan memikirkan Damara. Tentang petualangannya, tentang tempat-tempat yang mungkin akan disinggahinya, tentang senyumnya yang lesu itu, ia ingin melihatnya di Jogja.

andai, jikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang