Celine sangat menyayangi diari pemberian dokternya. Karena berkatnya Celine tak perlu memendam lama kesedihannya. Selain itu, emosinya juga lebih stabil ketika menuliskan keluh-kesahnya dibanding dengan membicarakannya secara langsung dengan orang lain-termasuk dokternya. Bahkan, berkat diari itu, konsultasinya dapat berjalan lebih lancar dibanding sebelumnya. Membuatnya bersyukur karena berkat benda kecil itu dia dapat mengurangi kesulitan Ella saat menghadapinya.
Namun, walaupun diari itu banyak membantunya meredakan gelisah dan sedih, tetapi tetap saja ada yang mengganjal. Dia masih belum bisa berubah. Ketakutannya akan lingkungan sosial masih ada. Selalu ada. Terlebih mengingat harga dirinya mendapat cap rendah di masyarakat-jika sampai mereka tahu. Tahu jika noda telah menempel pada tubuhnya. Noda yang tak akan bisa hilang selamanya. Noda yang membuat gunjingan dan tatapan tajam bercampur jijik dilontarkan.
Celine kembali menangis. Ia masih begitu menyesalkan masa lalunya. Ia masih menyesal karena kepasrahannya. Pasrah karena takut. Padahal seharusnya dia bisa melawan. Setidaknya meneriakkan kata tolong. Namun, karena sifat pengecutnya, dia malah tak melawan. Hanya bisa diam seolah menerima, walau sebenarnya menolak.
Celine mengerang dalam tangis. Dia sudah tidak dapat mengontrol diri lagi. Terlebih ketika mengingat perlakuan kasarnya kepada orang yang hanya menepuk pundaknya. Ditambah ia melakukan itu di hadapan banyak orang yang mungkin akan membuat mereka men-capnya aneh.
Tapi, aku memang aneh 'kan?
Tangisnya terhenti, berganti menjadi senyuman kecut. Dia seolah membenarkan cap aneh yang akan tersemat kepada dirinya. Ia mendongakkan kepala, menghela napas. Senyuman kecutnya memudar. Matanya menatap lampu yang menyala terang walaupun ini masih pagi.
Kira-kira kelas sudah dimulai nggak, ya?
Dia menghela napas.
Buat apa aku khawatir? Tak ada gunanya juga kalau dipikir-pikir. Kecuali teguran yang mungkin akan diberikan setelah aku membolos kelas pertama.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuat lamunan Celine buyar. Dia menatap pintu itu dengan mimik marah. Merasa waktu menenangkan dirinya diganggu.
"Siapa?" tanya Celine sedikit menahan rasa kesal. Ia sadar, ia tak boleh meledak lagi setelah peristiwa tadi.
"Aku Lala, temen sekelasmu," jawab gadis yang berada di depan pintu.
"Kenapa kamu ke sini?" tanya Celine dengan nada tertahan, pandangannya tajam pada pintu yang masih tertutup.
"Cuma mau ngecek kondisi kamu," jawabnya seraya membalikkan badan, tangan bersedekap di dada. "Ngomong-ngomong, kalau kamu masih ngerasa nggak enak, aku bisa anterin kamu ruang kesehatan. Itu pun kalau kamu mau."
Celine yang mendengarnya diam. Kemudian bibirnya tertarik membentuk senyuman. Walau tipis.
"Terima kasih, tapi itu tidak perlu. Aku lebih senang menenangkan diri tanpa gangguan orang lain."
Lala yang mendengarnya langsung berbalik, menghadap pintu.
"Oke," Lala berujar seraya memundurkan badan, "kalau gitu aku tunggu kamu di depan. Ngomong-ngomong, 15 menit lagi kelas dimulai. Jadi, jangan terlalu lama menenangkan dirinya. Kamu nggak mau dapat teguran dosen di hari pertama, 'kan?"
Setelah mengatakannya, suara langkah kaki Lala terdengar makin jauh hingga menghilang. Menyadari Lala sudah tak lagi berada di sana membuat Celine kembali jatuh dalam lamunan.
Dalam lamunannya, dia membenarkan kalimat terakhir Lala. Ia memang tak ingin mendapat surat panggilan dari kampus. Sebenarnya. Karena jika sampai ia mendapatkan itu di hari pertamanya, berarti ia akan membuat Shani kembali bersedih. Tentu saja dia tak ingin melakukannya, mengingat Shani yang selama ini mungkin sudah sangat terbebani akan dirinya.
Celine menghela napas, lalu membuka ponselnya, melihat jam. Setelah itu, berdiri dan membuka pintu toilet. Ketika di luar, ia melihat sekitar. Ada beberapa gadis tengah berdandan. Melihat kehadiran mereka, membuat Celine berharap mereka tak mendengar erangannya tadi. Setelah membatin, ia segera berjalan menuju ke salah satu wastafel yang jaraknya jauh dari mereka.
Mencuci mukanya, lalu meninggalkan toilet dengan cepat. Ketika dia sudah berada di luar, Lala langsung bertanya, "Udah baikan?"
Celine diam. Tak lama ia tersenyum karena pertanyaan Lala mengingatkannya dengan Melati.
"Iya," jawabnya membuat Lala tersenyum kecil, kemudian berjalan kaki bersamanya ke kelas.
Ketika berjalan, Lala bertanya, "Siapa namamu?"
Celine tersenyum kecil, lalu menjawab, "Saya Celine."
Mendengarnya membuat Lala tersentak. Untungnya saja saat ia tersentak, Celine tidak memperhatikan. Sehingga Celine tak tahu jika Lala mengetahui tentangnya. Walau sejujurnya ini adalah kali pertama ia bertemu Celine.
Minggu, 24 Januari 2021
Maapkeun kalau yang hari ini rada maksa bagi sebagian pembaca 🙏
Itu aja?
Ya nggaklah.
Btw, saya ada Project di grup kepenulisan (lagi). Tapi, yang kali ini Project jama'ah, jadi saya akan tetep nyempetin nulis ALP karena saya sayang kamu 😘 /mode buaya aktif/
See you next week!
_________
Klik 🌟 jika kamu suka!
Jika ada kritik/saran/hujatan/dsb. jangan ragu untuk 💬
Klik share jika kamu merasa karya ini patut dibaca kawan-kawanmu (dan pastikan umur mereka sudah sesuai persyaratan)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lovely Princess
Fanfiction[TAMAT] (16+) Bijaklah mencari bacaan agar terhindar dari hal-hal yang tak diinginkan. Peringatan: Semua yang tertulis merupakan fiksi belaka. _________ Hampir tiap malam, mimpi itu selalu menghantui Celine. Bukan sekedar mimpi buruk, tetapi juga me...