D U A P U L U H E N A M

5K 365 9
                                    

Istirahat siang ini Aora mengajak Vania untuk berjalan-jalan ke taman sekolah.

"Vania, udah lama ya gak kesini. Taman sekolah kita kayaknya abis di renovasi ya," ucap Aora sembari menikmati pemandangan.

Krik.. krik..

Vania tetap diam tanpa menjawab obrolan Aora.

Menyadari tidak digubris oleh sahabatnya, spontan Aora menoleh dan menatap Vania.

"Van? Are you okay?"

"Seharusnya gue yang tanya ke lo Ra. Apa lo baik-baik aja dengan keadaan ini?" mata Vania mulai memerah.

"M-maksud Vania?"

"Lo dihamilin Revan tapi lo gak pernah cerita sedikit pun sama gue."

Deg.

"K-kok Vania bi-bisa tau?" jantung Aora mulai berdetak kencang.

"Gak penting Ra. Sekarang lo harus cerita kenapa bisa kayak gini? Berarti video yang nyebar waktu di Bandung itu bener?"

"Ra, ikut gue," tiba-tiba Revan datang dan menggandeng tangan Aora, tapi langkahnya dihentikan oleh tamparan Vania.

Prak!

Spontan Revan memalingkan wajah berkat tamparan sahabat Aora itu.

"Jadi cowok jangan kayak babi! Nyosor doang kerjaannya!" Vania mulai menyerang Revan.

"Haha denger-denger lo murid paling pinter ya? Tapi kok kaga punya otak?"

Revan mulai terpancing emosi dengan semua kata-kata yang Vania lontarkan.

"Lo kaga tau apa-apa jangan berlagak!"

"Gak tau apa-apa gimana maksud lo?!"

"Lo gak berhak ikut campur urusan gue sama Aora. Paham lo!"

"Jangan kayak anjing deh, diserang balik kagak berani. Mental bencong lo? Hahaha" Vania tertawa sinis.

Revan sudah muak dengan Vania. Tanpa pikir panjang ia mengangkat tangan kanannya dan hendak menampar Vania, tapi lagi-lagi Aora menghentikan aksinya.

"Stop Revan!!"

"Kenapa? Kenapa kaga jadi? Tampar sini!" Vania menunjuk pipinya dengan emosi.

"Anjing!!" Revan memaki Vania, lalu menggandeng tangan Aora pergi.

---

"Ra, gue minta lo stop temenan sama Vania," mata Revan tetap mengarah lurus ke depan.

"Lah kok gitu sih?" Aora mengerutkan dahi kebingungan.

"Gue tau sahabat lo itu khawatir. Tapi cara dia salah, gue tau gue juga salah. Tapi lo tau sendiri kan kalo gue bakal tanggungjawab?"

"Iya Revan, Aora ngerti."

"Gue gak suka sama Vania Ra. Dia terlalu memihak lo, gue tau gue salah tapi bukan berarti dia bisa berlagak tau semuanya. Toh keluarga kita juga udah gak masalah, yang penting kan hari Minggu kita lamaran dan gue gak bakal lari dari tanggungjawab."

Aora tersenyum tipis lalu mulai tertawa. Ia sangat gemas melihat Revan yang mengomel seperti ini.

"Kenapa lo ketawa anjir. Gue serius."

"Iya iya haha. Aora sama debaynya suka sih."

"Suka apa?"

"Suka ngeliat Revan ngomel kayak gini. Tiap hari gini dong Revan, jangan dingin mulu ih."

"Ya udah, lo balik ke kelas duluan ya. Ntar gue nyusul."

"Siap pak bos!!" ucap Aora sembari hormat.

Setelah melihat punggung Aora tak tampak dari hadapannya lagi, Revan kembali duduk di salah satu kursi yang kosong.

Revan menatap langit yang sangat cerah itu, lalu terpikirkan suatu hal.

Tunggu. Revan masih tidak menyadari dan tidak mengerti oleh suatu hal. Terasa ada yang mengganjal di hatinya.

Pertama, akhir-akhir ini Revan suka dibuat salah tingkah oleh kata-kata dan perilaku yang Aora ucapkan dan lakukan.

Kedua, Revan sangat cemburu melihat Aora dan Vraska dekat satu sama lain.

Ketiga, Revan langsung memilih menikahi Aora tanpa keraguan.

Apa semua ini tanda bahwa...?

---

Sore ini Revan pulang sendiri tanpa Aora. Karena saat akan mengajaknya pulang bersama, Aora bilang bahwa Dedi akan menjemputnya.

"Woi Revan!! Nebeng!" teriak Vraska dari belakang, lalu lari menghampiri saudara tirinya itu.

"Ogah anjir. Lo kalo kaga ada kendaraan, naik angkot bisa kan? Gak punya ongkos? Nih gue kasih," Revan merogoh sakunya untuk mengambil selembar uang dua puluh ribu.

Tapi dengan sia-sia, Vraska tidak menerima uang yang diberikan Revan. Otomatis uang itu terjatuh ke tanah.

"Oh gak mau lo? Ya udah. Yang gak bisa pulang kan lo, bukan gue," Revan mengesampingkan standard nya lalu melesat pergi.

"Ck. Sialan tuh anak," mau tidak mau Vraska mengambil uang yang terjatuh di tanah tadi.

Sudahlah. Harga dirinya sebagai ketua osis jatuh saat itu juga.

---

Revan sampai di rumah terlebih dahulu mendahului Vraska.

Saat akan membuka pintu kamarnya, langkah Revan dihentikan oleh Diana.

"Lepas!"

"Lo kok belum cabut dari rumah gue sih? Mau gue usir lo?!"

Bukannya marah karena telah diusir, Diana malah memeluk dan mencium kening anaknya itu.

"Maafin mama nak. Mama sangat bersalah sama kamu."

"Bagus kalo lo ngerasa kayak gitu. Sekarang lo pergi," ucap Revan dingin. Tangannya menangkis Diana agar lepas dari pelukan.

"Revan, mama sayang sama kamu. Please jangan ngusir mama," Diana memohon.

"Kalo lo sayang, lo gak mungkin ninggalin gue dan lebih milih cowok lain selain papa gue."

"Nak, sini nak. Mama pingin cium kamu," ucap Diana berusaha meraih Revan.

"Dih jadi ambigu gue anjir," Revan menutup pintu kamarnya, meninggalkan Diana sendiri yang masih berdiri di depan.

Baby Girl (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang