wasiat yang terpatri

8 3 5
                                    

Tak ada sesuatu hal yang lebih padanya, ia hanya lelaki biasa, mempunyai kekuatan biasa, kemampuan berpikirnya biasa, wajahnya biasa, cara jalannya biasa, tidurnya biasa, mandi seperti biasa, makan seperti biasa, setelah makan ia masih minum seperti manusia biasa bahkan dengkurannya biasa, tapi ada satu hal yang membuatku kagum padanya, entah kenapa dengan berbagai keadaan yang menimpanya dia selalu tersenyum dan terkikih seakan tak pernah terjadi apa-apa, bahkan saat kehilangan sendal setelah shalat berjamaah dimesjid, bahkan setelah terkena semprotan berangnya tgk iqbaluddin karena ia belum mampu merampungkan hafalan jurumiah kesekian kalinya hingga kelas 6, bahkan setelah rotan tgk ismuhadi menghujani betisnya sehingga lembam membiru lantaran kedapatan sekali tidak berjamaah subuh, bahkan disaat hatinya seharusnya remuk berkeping-keping lantaraan tumpuan hatinya syalimah meninggalkannya berpaling kepada tengku yang lebih mempunyai paras dan kemapanan darinya, namun tidak ada sedikitpun nampak raut kesedihan maupun kekecewaan, malahan kerap kali ia menghibur teman sejawatnya yang terkadang tengah dirindung pilu dikecewakan oleh kehidupan dunia, seperti halnya Abi zhar yang tempo hari menceritakan keluh kesahnya, wanita yang sejak dulu diidam-idamkannya, yang selalu digadang-gadang dan disematkan nama dalam setiap do’anya, belum jua perasaan tersampaikan telah direnggut orang lain dari muara khayalnya, angan-angannya tandas seketika itu terbenam dalam hasrat yang mustahil untuk diraih kembali, wanita itu dikhitbah orang. Sembari menepuk pundak abi zhar dia berujar, “ sudahlah bi, untuk apa kau tangisi yang telah pergi darimu, yang ada hanya kepedihan menghantuimu setiap waktu, yang mirisnya rasa perih itu hanya engkau saja yang merasakan sedangkan dia telah bahagia dalam pelukan kekasihnya” , lagi-lagi sesungging senyum dikulumnya, senyuman yang seakan membuat cerahnya dunia siapa saja yang melihatnya dan mengerti garis hidupnya, abi zhar hanya manggut, ucapannya singkat namun senyum itu telah memberi arti yang mendalam bagi abi zhar, kepedihan  yang tengah ia dirasakan tidaklah berarti apa-apa dibandingkan getir kehidupan yang telah dirasakan anis.
…….
Pada suatu malam yang muram, hidup anis terasa kelu, hatinya hampa akan konspirasi kehidupan dunia, dan rengguh akan makna hidup, pandangannya nanar namun lekat menatap sosok jasad yang terbujur kaku dihadapannya , dia sama sekali tidak menangis namun air mata secara spontan bereaksi tanpa aba-aba menjelaga dari pelupuknya, sang ayah pahlawan hidupnya, sosok yang dibangga-banggakan semenjak kecil , kini tak dapat lagi menemani kehidupan dunia yang semakin runyam ini, sejenak seakan pikirannya menerawang hingga 12 tahun silam saat ayah pertama kali mengajarinya membuat layang-layang betapa kebahagian merasup relungnya kala itu , dengan bangga anis mempersembahkan layang-layang perdananya, meski pada akhirnya harus kembali direfisi ulang mulai dari awal oleh sang ayah lantaran tidak bisa terbang, ayahlah madrasah pertamanya menoreh arti kehidupan anis dimasa mendatang, mengajarinya azan dan mengaji meski suara ayah sangat sumbang tak enak didengar, yah paling tidak dengan berkat sang ayah anis dapat lewat test mondok 6 tahun silam. Ayah adalah keluarga terakhir yang dimilikinya,setelah guncangan bumi dan bandang tsunami meluluh lantakkan bumi serambi, anis kecil hanya meraung-raung tak tahu gerangan, 2 tahun bukanlah usia yang rentan untuk mengingat peristiwa yang terjadi, hanya sebuah klise ketakutan yang mencekam, ia telah lupa kronologi gempa lupa bagaimana air bah meradang, lupa bagaimana bisa ia selamat dari bencana yang sempat menghebohkan dunia, namun masih basah disudut ingatan masih melekat disudut kenangan senyum sang ibu diiringi linangan air mata saat terakhir merangkuhnya sambil berlarian menjauhi air bah itu, lantas saat ini ibu hanya tinggal dalam ingatan tanpa bisa diajak bercengkrama, ibu telah pergi untuk selama-lamanya, padahal ia sangat ingin dibesuk saat terjatuh dari sepeda dikala umurnya baru menginjak 4 tahun, ia menangis sejadi-jadinya meraung-raung memanggil ibu, namun sang ibu tak kunjung menghampirinya, tsunami menjadi asbab ibu menghadap ilahi, kak sofia dan bang huda pun juga turut menyertai  ibu menghadap pencipta, hanya ayah tinggal sang ayah
……..
“Bi kau tahu kehidupan itu sederhana, hanya manusia saja yang rumit, keegoisan kerap menundukkan akal sehat, masih ingatkah engkau bi pesan yarham abon aziz “duk laju idayah menyo ken malem kaya”, jalani saja kehidupan kita saat ini, karna kehidupan saat ini sudah tentu pasti arah tujuannya, tak usah terlalu berharap kepada sesuatu yang tidak ada kepastian, bi yang penteng “beut semebeut” bi, saat ini aku hanya baru mempunyai kemampuan untuk mengaji(beut), jadi aku akan terus mengaji meski tidaklah banyak yang aku peroleh, dan aku tak pernah berhenti berharap Allah kan mencurahkan sedikit ilmu kelak untukku yang membuat aku bisa mengajar(semeubeut). 2 pesan itulah yang membuat aku bertahan sampai saat ini bi, kau tahu sendiri betapa bodohnya aku, biarlah peringkat ilmuku paling rendah dima’had ini, namun takkan ku biarkan khitmatku kepada guru tandas ditelan bumi”, Abi zhar menatap anis lekat-lekat berusaha mencerna muara keteguhan yang terpancar disudut mata lelaki yang telah pernah diluluh lantakkan oleh kehidupan dunia itu, “sebenarnya engkau telah lebih untuk menjadi seorang guru nis, SANG GURU KEHIDUPAN” abi zhar membantin tak bersuara.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 25, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

wasiat yang terpatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang