Pesta dan ironi

2.2K 619 64
                                    

"Saya melamar Tiffany Anggraeni Putri sebagai calon istri saya," ucap Daniel.

"Saya terima lamaran Daniel Hanif sebagai calon suami saya," balas Tiffany. Barulah ibu Daniel memasangkan cincin di jari manis Tiffany. Sudah menjadi adat sendiri di keluarga Daniel jika pertunangan, ibu calon pengantin pria yang memasangkan cincin. Pengantin pria baru bisa memasangkan cincin di jari pengantin wanita saat pernikahan nanti.

Pertunangan itu dirayakan dengan meriah. Rumah Tiffany di dekorasi dengan kain bernuansa merah muda. Pengajian digelar untuk mendoakan mereka lancar hingga hari pernikahan.

Pesta yang memakan waktu lama karena sejak pukul sepuluh pagi ada beberapa rangkaian : upacara pertunangan, resepsi lalu pengajian dari maghrib hingga isya. Benar, orang tua Daniel memberikan banyak uang untuk acara ini akibat ingin menikahkan anaknya dengan mewah.

"Beruntung Tiffany itu, calon mertuanya baik sekali. Katanya kamu malah gak tahu ngurusin pertunangan karena mereka yang urus?" tanya Bi Sasa, adik ayah Tiffany.

Yang dibicarakan malah menunduk malu. Keluarga Daniel sudah pulang setelah sholat Isya di masjid. "Emang rezeki si teteh. Mana ketemunya dari sejak kuliah di Bandung," timpal Bunda sambil mengusap rambut Tiffany.

"Kalau gak salah, calon suami kamu itu diplomat, ya?" Wa Enti ikut dalam pembicaraan. FYI, Wa Enti adalah kakak pertama Ayah. Dia beruntung mendapat suami seorang pegawai TASPEN. Tidak heran karena gajinya berlimpah, ia jadi juragan tanah.

Sayangnya, kaya harta tak membuat Wa Enti kaya akan budi. Dia sering merendahkan adik-adiknya yang hanya menjadi pedagang. Hingga Kak Davis dan Tiffany masuk sekolah elit sementara anaknya tidak, ia mulai dengki.

"Iya, Teh. Mungkin sudah beberapa tahun ini," jawab Bunda.

Wa Enti mendengus. "Masih lebih besar gajinya calon suami Maira, donk. Edwin kan anggota Dewan. Mana sekarang di pusat lagi."

Hanya senyuman garing yang ditunjukkan orang-orang yang ada di sana. Maira akan menikah dua bulan sebelum Tiffany. Demi Maira ini, Tiffany rela memundurkan hari pernikahan.

Kesal juga Tiffany mendengar itu. Uwanya tak pernah terima jika Tiffany lebih hebat daripada putrinya. Bahkan saat Tiffany kuliah di Paris, Wa Enti dengan terang-terangan bilang, "Emang ada biayanya? Nanti malah putus tengah jalan, bikin malu keluarga."

Waktu Tiffany usaha roti, dia juga tak hentinya menjelekan. Dibilang roti mahal gak laku, sekarang waktu Tiffany mempunyai laba bersih sampai tiga puluh juta sebulan, ia makin dengki. "Mumpung lagi rame, nanti ke depan gak tahu. Kalau Maira pegawai tetap di bank. Lebih menjanjikan," katanya.

Daniel tertawa puas mendengar cerita   Tiffany. "Sumpah ya, kalau ada penghargaan orang julid di dunia, Uwa kamu pasti masuk itu," ledek Daniel dengan puas.

"Makanya, kamu jadi anggota dewan sana! Biar dia makin julid."

Keduanya seperti tak puas dengan bertemu sekali. Jika siang bertemu untuk makan di luar dan jalan-jalan, malamnya mereka telponan sampai pukul sebelas malam. Namanya orang saling cinta.

"Kamu tidur sana, sudah malam. Nanti ayah kamu demo. Biaya telpon naik."

"Iya, selamat tidur Daniel."

"Selamat tidur calon bidadari surgaku," timpal Daniel. Barulah mereka mematikan telpon masing-masing.

Semua itu masih terasa indah hingga di sana. Beberapa bulan setelah pertunangan semua mulai menjadi prahara. Kata orang saat-saat sebelum menikah, pasangan akan mengalami ujian. Inilah ujian Tiffany dan Daniel.

"Reuni?" tanya Tiffany saat ia sedang memasak di rumah Daniel. Sejak bekerja, Daniel menyicil rumah sendiri. Di sini Tiffany dan Daniel tinggal berdua setelah menikah nanti.

Setiap pagi, Fany pasti datang ke rumah Daniel untuk memasak sarapan. Mereka sering sarapan bersama kemudian Daniel akan mengantar Tiffany ke toko dan dia langsung pergi kerja.

Daniel mengangguk. Tak lama Tiffany menyimpan mangkuk di depan Daniel. "Ini aku masakin soto Bandung kesukaan kamu," serunya sambil tersenyum lalu duduk di kursi lain menunggu tunangannya makan.

Kesukaan siapa? Aku gak suka, batin Daniel. Meski begitu, ia masih memakan masakan Tiffany. Tak sekali pun ia mencoba menolak agar tunangannya itu senang.

"Reuni SMA apa SMP?" tanya Tiffany lagi.

"SMA. Sepuluh angkatan. Kira-kira tujung angkatan di atasku dan dua angkatan di bawahku," jelasnya.

Tiffany mengangguk-angguk. "Bukannya SMA Berbudi juga akan mengadakam reuni? Kamu gak datang?" tegur Daniel. Dengan yakin Tiffany menggeleng. "Kenapa? Kita mau nikah, kenapa masih harus takut dengan Dylano?"

"Aku mau jaga perasaan kamu saja. Mungkin aku sama dia ketemu dan tak ada apa-apa. Tetap saja, kamu pasti gak tenang," jelas Tiffany.

Daniel tersenyum bangga. Meski Tiffany tak tahu makanan kesukaannya, ia tahu bagaimana cara menjaga perasaan Daniel.

Tiffany mungkin tak ada rasa aneh saat itu. Hingga ia tiba di toko dan bertemu dengan Ope siang itu. "Reuni? Siapa? Daniel?" tanya Ope kaget.

Tiffany mengangguk.

"Larang! Jangan biarin dia pergi!" titah Ope dengan keras.

"Kenapa? Dia mau ketemu sama teman SMAnya dulu, itu hak dia. Masa aku ikut campur. Lagipula dia pergi dari jam sembilan tadi. Acaranya mulai jam sepuluh, ini sudah jam dua siang."

"Tif, kamu gak tahu ya kalau Ema sama Daniel itu satu SMA. Kamu gak takut Ema gangguin Daniel lagi?"

Jantung Tiffany mulao berdebar ngeri di sana. Hanya ia mencoba menenangkan diri. "Ia pasti bisa jaga perasaan. Kak Ema ada di Paris, suaminya kerja di sana. Apa bisa ia datang ke acara reuni?"

🍁🍁🍁

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang