Delapan Belas

63 3 0
                                    

Berjuang Sampai Titik Darah Penghabisan | Alif Prayoga

Sayup-sayup aku mendengar sebuah teriakan, aku mendengar Wildan berteriak keras memanggil namaku. Sedangkan aku sendiri tak mampu untuk menjawab panggilannya, bahkan mataku saja sulit untuk terbuka, mulutku seakan terkunci dan kehabisan kata-kata.

Plak

Beberapa kali tamparan yang mendarat di pipiku sukses membuat mataku terbuka sepenuhnya. Rasa panas yang menjalar di pipiku berhasil menyadarkanku. Dengan tangan yang bergetar dan belumur darah serta tubuh yang sangat lemah, aku memaksakan diriku untuk berdiri. Aku tak akan menyerah begitu saja meskipun aku terluka. Beberapa luka tembak yang ada di lengan tangan kiri dan juga di perut kuabaikan. Dengan kondisi seperti ini aku tetap saja masih mementingkan keamanan dan kedamaian negaraku.

"Sebaiknya kau istirahat saja dulu, obati dulu luka-lukamu." kata bang Adri.

"Tidak, Bang. Saya akan berusaha sekuat tenaga demi negara ini. Saya tidak ingin lagi ada pemberontak dalam negeri ini. Saya akan melakukan apapun demi keamanan negeri ini meskipun nyawa saya taruhannya."

"Lalu kau melupakan keluargamu? Pasti ayah dan ibumu sudah menanti kepulanganmu dari tugas. Termasuk cintamu, bu guru Azka. Saya tahu jika dia kekasihmu, tidakkah kau memikirkan itu semua, Dik? Apa yang akan mereka rasakan jika orang yang dinantikannya selama ini pulang hanya nama saja? Yakin mereka tidak sedih jika menyambut orang yang menjadi kebanggannya selama ini pulang terbungkus peti?" ujar bang Adri pelan, namun berhasil menusuk jantungku.

Sejenak aku tercenung memikirkan semua perkataan bang Adri yang seluruhnya benar. Ayah dan ibu pasti telah menantikanku untuk kembali ke Jawa, begitu pula dengan Azka. Mana mungkin aku bisa membiarkan gadis yang kucintai terlarut dalam kesedihan. Aku tak bisa membayangkan jika orang-orang yang kusayangi harus bersedih dan berduka dengan mendalam karena aku, sungguh aku tak mau jika sampai membuat linangan air mata dari orang-orang yang kusayangi. Tetapi melihat kondisi seperti saat ini, aku tak mungkin berdiam diri saja sementara yang lain berjuang mati-matian melawan pemberontak.

"Sudah kau pikirkan baik-baik, Dik? Kau masih masih sangat muda dan perjalanan hidupmu masih panjang. Kebahagiaanmu juga baru kembali 'kan?" kata bang Adri.

"Siap, izin Abang juga masih sangat muda. Usia kita hanya terpaut tiga tahun, dan untuk kebahagiaan, saya sudah amat bahagia selama hidup saya. Seharusnya Abang yang mencari kebahagiaan karena selama ini Abang hanya bermain dengan perasaan wanita."

Bang Adri terkekeh, "Maka dari itu saya sudah sangat bahagia, karena sudah merasakan pahit manisnya kemanjaan sekaligus kejudesan wanita. Saya sudah biasa menaklukkan wanita, jadi sekarang biar saya yang lanjut perang. Kamu di sini saja, obati luka-lukamu agar kamu lekas sehat dan kembali berjuang."

"Abang tidak menyuruh saya untuk berjuang meneruskan perjuangan Abang menjadi buaya darat 'kan, Bang?" tanyaku memastikan, tetapi malah memantik tawa keras bang Adri.

"Kalau kamu mau sih ya, nggak apa-apa. Biar hidupmu lebih berwarna karena banyak wanita, hahaha ...."

"Enggak, Bang. Bukannya jadi berwana malah jadi kelabu nanti hidup saya karena banyak yang minta kepastian buat dinikahin, hiii ...." kataku sambil bergidik.

Lagi-lagi apa yang kukatakan pasti memantik Bahakan dari bang Adri. Bahkan sekarang bukan hanya bang Adri saja yang tertawa, melainkan rekan-rekan yang lain yang baru bergabung untuk istirahat sejenak sambil mengobati luka-lukanya termasuk Wildan dan Rangga. Mereka semua terbahak kencang mendengar perkataanku, memang ada yang lucu? Aneh.

Tusss

Tusss

Kami langsung berdiri dan bersiap siaga begitu peluru kembali menghujam tempat peristirahatan kami. Sebagian rekan-rekan tentara telah meluncur terlebih dahulu dan yang lainnya menyusul setelah mengenakan perlengkapan lengkapnya. Pun juga denganku yang tak mau tinggal diam saja di tempat, dengan cekatan aku mengambil semua perlengkapan tempur dan berlari menyusul yang lain.

"Sersan satu Alif Prayoga. Kembali!" titah bang Adri.

"Siap, tidak! Mohon izin letnan, saya tidak akan kembali dan akan terus berjuang. Izin mendahului." kataku cepat dan berlari menjauh dari bang Adri.

Masih kudengar di belakang bang Adri tengah mengomel karena perintahnya kulanggar. Hah ... sudahlah lupakan saja itu, yang terpenting sekarang adalah berjuang, berjuang, dan berjuang.

Tusss

Tusss

Hingga tak terasa sudah satu jam berlalu dan kami masih terlibat dalam baku tembak. Kian lama kian memanas hingga beberapa dari rekan kami menjadi korban.

Tusss

Aku memegang lengan kanan tangan kananku yang baru saja tertembus timah panas. Luka kemarin saja belum sembuh telah datang lagi luka yang lain. Darah mengalir semakin deras dari lengan tanganku, belum.lagi jahitan di perutku yang lepas dan mengalami pendarahan lagi.

Aku mencoba untuk tetap bangkit dan berusaha berdiri setegak mungkin kendati tubuhku rasanya sudah tak karuan. Remuk, sakit, lelah, semuanya bercampur menjadi satu. Saat aku hendak mengangkat senjataku, aku melihat ada pemberontak yang berusaha membidik bang Adri dari arah belakang. Dengan sekuat tenaga, aku berlari dan mendorong bang Adri hingga dia terjatuh.

Tusss

Tusss

"Alif!" kata bang Adri keras yang masih bisa kudengar meskipun sayup-sayup.

"Kau bodoh sekali, Dik. Harusnya kau membiarkan saya yang tertembak, bukan malah menyelamatkan saya!" bentak bang Adri.

"A-Abang i-itu Abang saya, S-se-nior saya." kataku terbata dengan napas yang mulai tersengal.

"Alif, kamu harus bertahan Alif, demi orang tuamu, demi Azka juga." ujar Wildan yang entah kapan datangnya disusul dengan Rangga yang tergesa.

Kurasakan napasku semakin sesak, "Ini su-dah tak-dir."

Plak

Satu tamparan dari Wildan mendarat dengan manis di pipiku, "Bangun Alif! Kamu pasti kuat! Ayo kita pulang!" kata Wildan yang setiap katanya mengandung tanda seru.

"Iya, pulang. T-tapi bukan ke Jawa, kalian s-semua harus pulang ke sana."

"Lantas kau mau pulang kemana, Dik kalau bukan ke Jawa? Rumahmu itu di Jawa."

"K-kalian ke Jawa ... saya ke ... pada-Nya."

"Nggak Alif, bagaimanapun juga kamu akan ikut kami pulang ke Jawa! Kamu ngaco Alif, halu! Nggak lucu lelucon yang kamu buat. Ayo kita pulang!" celetuk Rangga dengan keras.

Aku ditarik dan diseret oleh Rangga secara brutal menuju tempat yang aman. Sedangkan Wildan dan bang Adri mengikuti dari belakang dan sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri guna mengawasi jika ada pemberontak lain yang mencoba untuk menyerang.

Ssst! [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang