⚘ Enam

380 80 20
                                    




Yunseong menatap sesaat layar ponselnya yang menyala sebelum beranjak dari duduknya. Malam ini, ia duduk lagi di halte yang ada di depan kantor Minhee—tapi bukan di seberang jalan seperti beberapa hari yang lalu.

Setelah beranjak, ia berbelok ke arah kiri—tepat sekali saat Minhee baru keluar dari area kantor dengan ponsel di tangan kanannya. Entah apa yang bocah itu lakukan, tapi Yunseong dapat menebak jika Minhee adalah satu-satunya yang tersisa di kantor itu dan sedang sibuk mencari sesuatu untuk mengantarnya pulang.

Dengan gerakan pelan, kakinya lalu ia bawa melangkah mendekati si manis. Hingga saat jarak mereka tersisa satu meter lebih, pemilik marga Kang itu menoleh dan terlihat kaget dengan kehadirannya.

“Belum pulang?”

Minhee sudah akan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi kalah cepat dengan Yunseong yang mengajukan pertanyaan itu lebih dulu. Sukses saja membuat si manis merekahkan sebuah senyum kecil di wajah lelahnya.

“Ini baru mau pulang. Kakak sendiri ngapain? Kok ada di sini?”

“Gue baru dari rumah sepupu.”

“Deket sini rumahnya?”

“Hm.”

“Kenapa gak nginep? Ini udah malam banget loh.”

“Lo sendiri kenapa gak nginep di kantor?”

Yunseong tidak tahu apa yang salah dari pertanyaannya, tapi itu berhasil membuat senyum kecil di wajah Minhee menghilang. Si manis lalu diam beberapa saat sebelum menggeleng kecil. “Gue masih takut.”

“Takut?”

“Dulu... waktu awal-awal kerja... pernah hampir di...”

Yunseong mengulum bibirnya, dalam diam sedikit paham mengapa Minhee terlihat tidak yakin untuk memberikan jawaban untuk pertanyaan yang ia ajukan. Dan saat bocah itu mengalihkan tatapannya, ia segera menggerakan tangannya—memberi isyarat jika jawaban itu tidak harus dilanjutkan.

“Gak usah dilanjutin.”

“Iya..., kak.”

“Tapi, lo berani pulang sendirian jam segini.”

“Gue cuma takut sama kantor ini. Kalo lo mau tanya kenapa gue masih di sini sampe jam segini, itu karna gue gak ada pilihan lain. Seengaknya sekarang, gue gak setakut dulu karna yang jagain bukan orang yang dulu lagi.”

Mengangguk samar, Yunseong berencana membawa Minhee dalam obrolan yang lain. “Supir lo gak jemput?”

“Gak. Gue gak punya supir.”

“Terus yang jemput lo waktu itu?”

“Supir orang.”

“Siapa?”

“Gue gak tahu. Pokoknya supir orang.”

“Terus lo pulang sama siapa?”

“Ya sendiri.”

“Pake apa?”

“Kalo ketemu taksi ya oke. Kalo gak ya jalan kaki.”

“Gue anterin, mau?”

“Hah?”

Minhee nampak melongoh tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tapi, Yunseong acuh saja dengan tangan kiri yang terulur di depan si manis.

“Gue anterin.”

Tidak langsung menjawab, Minhee menggeleng cepat pada detik kesekian. “Gak usah, kak. Kata kak Ben, rumah lo deket sama toko roti itu. Tempat gue tinggal arahnya berlawanan, nanti lo pulangnya makin larut kalo anterin gue dulu—mana jauh lagi.”

“Gak apa-apa.”

“Gak usah. Gue pulang sendiri aja.”

Yunseong masih diam di posisi yang sama. Tapi, Minhee nampak berbeda setelah mengatakan dua kalimat itu. Ia tidak lagi menatap Yunseong. Tatapannya juga sudah berubah waspada sebelum melirik sekitar lalu melangkah mundur. Dua langkah pertama, bocah itu masih terlihat baik-baik saja. Lalu, saat langkah ketiga akan diambil, ia mulai sedikit oleng, membuat Yunseong menggerakan tangannya dengan cepat—meraih lengan si manis agar berdiri dengan benar.

“Lo kenapa?”

Tapi, bukan jawaban yang ia dapatkan karena Minhee langsung bergerak cepat untuk menarik tangannya.

“Gak apa-apa.”

Kalimat itu Minhee ucapkan dengan mata yang bergerak menatap ke arah lain—membuat rasa tak paham Yunseong semakin menjadi. Lalu, saat ia mencoba untuk menatap bocah itu, tatapannya selalu dialihkan.

Mendengus malas, kedua tangan Yunseong lalu bergerak begitu saja, meraih kedua pipi Minhee dan membawa tatapan bocah itu untuk menatap tepat ke arah matanya.

“Hei, liat gue dulu.” Ucapnya saat Minhee masih berusaha mengalihkan tatapannya. Tangannya juga bergerak kuat agar Minhee tidak bergerak menoleh ke arah lain. Hingga saat si manis sudah diam saat manik mereka bertemu, ia membuka mulutnya untuk berucap lagi. “Lo kenapa?”

Minhee tidak langsung memberikan jawaban. Bocah itu masih diam di posisi yang sama—mengatur napasnya yang entah bagaimana jadi tersenggal-senggal—sebelum menggerakan tangan kanannya untuk memegang tangan Yunseong yang masih menangkup pipinya.

Yunseong sendiri masih pada posisi yang sama—menunggu Minhee menjawab pertanyaannya. Hingga dua menit berlalu, ia jadi tersentak sendiri saat Minhee menarik paksa kedua tangannya dari pipi si manis dan langsung memeluknya begitu saja.

Ada apa ini?

Tapi, tidak ada jawaban yang ia dapat.

Bahkan hingga pelukan itu dilepaskanpun, Minhee masih tidak memberikan jawaban ia kenapa. Ia hanya mundur, sebelum pamit untuk pulang lagi.

“Gue pulang ya, kak. Makasih, untuk yang barusan.”

Tentunya, Yunseong tidak akan tinggal diam. Ia kembali meraih lengan Minhee. Dan sebelum bocah itu mengajukan protes apapun, ia segera mengatakan kalimat lainnya.

“Gue telpon Ben buat jemput lo. Lo gak boleh pulang sendirian malam ini.”

”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.





















Thank you...

Boys be Ambitious || HwangMiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang