[ 16 ] Martin Seaman

1K 127 16
                                    

"Herminia." Martin menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku menatapnya heran.

"Perutmu sudah ada isinya belum?" Tanyanya menatap perutku yang datar. Aku menggeleng. "Belum, tadi pagi aku belum sempat sarapan."

"Bukan itu yang aku maksud." Ucapnya.

"Trus?"

"Kau ini bodoh atau gimana? Bukannya kemarin kau dengan Edmund di kamar melakuka--- AISSSS!" Martin memegang kepalanya, meringis kesakitan. Aku tanpa memedulikannya langsung berjalan cepat meninggalkan martin.

Aku mengacak rambutku frustasi. Kejadian kemarin benar-benar hampir di luar kendali. Aku tak bisa membayangkan hal yang akan terjadi jika Martin tidak datang mengganggu.

Pikiranku sedari tadi terjebak pada kejadian kemarin. Aku tidak bisa melupakan kejadian itu! Oh, demi apapun, aku terlihat begitu menikmati hari itu--- Argggg, berpikirlah positif, Herminia!

Karna terlalu sibuk dengan pikiranku yang kacau, aku menabrak seseorang. Aku hampir kehilangan keseimbanganku, tapi orang yang aku tabrak dengan cepat menangkapku dan menarikku dalam pelukannya.

"Lihat jalanmu."

"Aa-- iyaa." Aku berdiri canggung di depannya. Aku merasakan wajahku yang menghangat. "Err-- itu.. bukankah kau harusnya berada di stasiun kereta?"

"Aku menunggumu. Kau tidak mau mengantarku?"

"Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri. Dia mengangguk. "Okay, aku akan membawa Martin juga." Ucapku berbalik arah, hendak mencari Martin yang aku tinggalkan sendiri.

Orang itu menahan tanganku, menghentikan langkahku. "Aku hanya mau dirimu saja."

"Er- tapi, Ed..."

"Kita harus bergegas. Aku akan ketinggalakn kereta jika kau membawa Martin."

***

Di stasiun kereta.

Setelah aku mengenalkan Edmund sebagai kekasih (palsu) ku pada ayah agar aku tidak dijodohkan dengan Martin, dan ayahku percaya akan hal itu, Edmund memutuskan untuk pulang ke Inggris, berkumpul kembali bersama keluarganya.

Aku mengantarnya karena permintaannya. Aku ingin mengajak Martin awalnya, karena aku sedikit merasa canggung jika berdua dengan Edmund.

"Keretanya sebentar lagi akan berangkat." Ucap Edmund bersamaan dengan bunyi kereta yang sedang bersiap-siap meluncur.

Aku mengangguk dan memberikan salam perpisahan padanya, tak lupa berterimakasih karena telah membantuku.

"Lagipula, Herminia. Apa kau tidak menginginkan hal yang lain?" Tanya Edmund.

"Menginginkan apa?"

"Menginginkan aku jadi calonmu misalnya."

"Apa maksudmu, Ed--"

"Sttt." Edmund meletakkan telunjuknya di bibirku. "Aku ingin mengatakan sesuatu padamu. Kau tau, Herminia? Sejak awal kita bertemu, aku sudah jatuh terhadap pesonamu."

"Awalnya aku bingung dengan rasa yang aku rasakan. Tapi perlahan aku mulai mengerti dari pertama aku menggenggam tanganmu, mengeringkan rambutmu yang basah, menguncir rambutmu, berusaha melindungimu, bersifat posesif, cemburu dengan kedekatanmu dengan Eustace dan Martin. Semuanya, hingga kejadian kemarin---"
Edmund menatap diriku, aku menelan ludahku kasar.

"Itu aku lakukan tanpa aku sadari. Hatiku terlalu menginginkanmu."

"Ed--"

"Jarak membuat aku lebih mengerti dengan apa yang aku rasakan. Rindu yang selalu menyerangku setiap malam, membuatku tak bisa tidur karena memikirkanmu. Semua yang ada pada dirimu, semuanya. Aku rindu itu."

Edmund menggenggam kedua tanganku. Tatapannya yang dalam membuat jantungku berdetak cepat.

"I Love You, Herminia."

Rasanya bumi berhenti berputar saat itu, suara teriakan orang-orang yang terburu-buru sama sekali tidak terdengar, hanya suara jantung yang berdetak begitu jelas.

"Will you be my girlfriend?"

Argg demi apapun, apa yang terjadi...

Aku menundukkan kepalaku. Aku tidak berani menatap Edmund yang sedang menunggu jawabanku.

"E--Ed, masuklah ke kereta. Kau akan ketinggalan."

"Jawab dulu pertanyaanku--"

"Ya."

"Ya?" Tanya Edmund memastikan. Tampak senyum lebar di bibirnya, membuatnya terlihat manis.

Aku memalingkan wajahku dari tatapannya, aku sedang berusaha mengontrol jantungku yang rasanya ingin sekali ku lepas karena berdetak kencang. Tapi Edmund berhasil membuatku kembalu menatapnya hanya dengan sebuah kecupan singkat di bibir.

"Aku akan merindukanmu." Ucapnya pergi masuk ke dalam kereta.

Aku hanya diam mematung di tempat, melihat dirinya pergi menjauh bersama dengan kereta.

***

"Gadis kecilku sedang berbahagia tampaknya." Martin datang duduk di sebelah diriku yang tersenyum. Sebuah bunga terbungkus indah di depanku. Aku menatapnya bingung.

"Untukmu."

"Oh, thanks." Aku menerima bunga itu dan kembali melihat pemandangan laut yang sangat indah bagiku. Senyum kembali datang di wajahku, membuat Martin juga ikut tersenyum.

"Tidak mau menceritakan hal bahagia itu padaku?"

"Kenapa aku harus menceritakannya padamu?" Tanyaku tanpa mengalihkan perhatian.

"Pelit sekali." Ucapnya.

"Ish, aku tidak mau menceritakannya padamu. Karena aku yakin setelah aku menceritakan hal ini padamu, kau akan menggodaku habis-habisan." Jelasku.

"Benarkah? Wait, biar aku tebak." Martin menatap diriku yang menunggu jawaban darinya. "Kau hamil?"

Jawaban apaan itu!

Aku dengan kuat memukul Martin tanpa ampun.

"Kenapa kau kasar sekali jadi perempuan?!" Ucap Martin kesal.

"Itu memang pantas untukmu." Ucapku.

Martin mendengus kesal dan kembali kepada topik. "Jadi? Ceritakanlah, jika tidak aku akan sembarangan menebak lagi."

"Aku sudah punya kekasih." Aku menatap Martin. Raut wajahnya tampak aneh, senyumnya seakan-akan dipaksa.

"Biar aku tebak. Pasti Edmund."

Aku mengangguk.

"Kau mendahuluiku, Herminia. Padahal aku lahir lebih dulu darimu, tapi kau lebih dulu punya pasangan." Ucap Martin dengan raut wajah yang dibuat sedih.

"Kasihan sekali..."

"Jangan hanya kasihan. Kau harus membantuku. Apa kau tega membiarkan aku sendirian terus?"

"Tinggal pilih saja para fans-fansmu itu. Apa susahnya?"

"Aku tidak mau. Tidak ada tipeku di antara mereka."

"Benarkah? Memangnya seperti apa tipemu?"

Martin terdiam, tampak berpikir. "Mungkin seperti dirimu."

"Aku?"

Martin mengangguk. "Ya, aku suka orang seperti dirimu."

"Memangnya aku ini tipe orang seperti apa? Kasar? Kau suka dengan yang kasar?" Tanyaku meledek.

"Kau meledek dirimu sendiri ya?" Martin tertawa, membuatku berdecak kesal.

"Aduh, sudahlah. Aku punya pekerjaan yang harus aku kerjakan." Martin beranjak dari tempat duduknya. "Aku lumanyan suka yang kasar." Ucap Martin terkekeh dan langsung pergi.

Aku mengangguk kepalaku pelan. Ada juga ya lelaki yang suka dengan perempuan kasar.

Explore Your Heart【Edmund Pevensie】Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang