RAPUH

19 4 0
                                    

Malam ini aku sedang menyelesaikan laporan praktikumku. Angka demi angka yang ada dihadapanku saat ini membuatku semakin pusing saja. Aku tau sebenarnya ini hal yang cukup mudah untuk dibereskan, tapi suasanya sedang tidak mendukungku. Hatiku masih saja rapuh, duniaku masih terasa hancur setelah dia pergi. Aku lupa caranya bangkit, aku lupa caranya tersenyum lagi, aku lupa caranya hidup normal lagi.

Aku ambil ponselku dan mencari satu nama di kontak ku, "Rian". Rian itu salah satu teman laki - laki terbaik milikku, dia seperti bodyguard pribadiku saja. Aku ada panggilan akrab untuknya, aku panggil dia dengan sebutan "Emon". Kita bertemu di sekolah menengah atas, kebetulan dia dan aku satu ekstrakulikuler teknologi dan informasi. Rian terkenal sebagai anak yang apatis, sedikit sombong, dan tipe orang yang bodo amat. Susah sekali menaklukkan hatinya karena memang dia itu anaknya sedikit sensitif. Tapi aku termasuk salah satu orang yang beruntung karena bisa menjadi teman dekatnya, tempat untuk dia curhat, berbagi kisah hidup sedih dan senang tentunya.

Emoooon, sibuk ga?.. Suaraku yang sedang terisak mencoba menelpon Rian

Lu kenapa Ril, kok nangis? Ga sibuk kok gue

Gue putus sama si Vino

Hah? Serius lu? Sejak kapan?

3 hari yang lalu, jadi gini ceritanya.... Aku bercerita pada Rian

Udah udah ga usah nangis lu ah, cengeng. Minta alamat rumah lu buruan

Mau ngapain anjir?

Udah, besok atau lusa kalau ada ojol kerumah lu nganterin makanan, terima aja. Itu dari gue. Lu mau apa? Boba? Martabak? Minta apa gue turutin, udah ga usah nangis lagi. Ga tega gue dengernya, nanti kalau keadaanya udah aman kita jalan – jalan

Tumben baik banget sih lu. Kagak biasanya lu kayak gini anjrit

Ya gapapa, itung itung ngebahagiain elu

Ah elu bisa aja mon

Atau mau ikut gue mabok? Aku tau bar enak di kota ini

Dah gila lu ya mon, gue minum sprite aja kembung, malah lu ajak mabok. Mabok tuh naik mobil yang pake stella jeruk noh

Ahahahahaha itu mah lu aja Ril, gue mah enggak

HAHAHAHA

***

"Oke saudara, perkuliahan hari ini cukup ya. Minggu depan kita bertemu lagi untuk membahas bab selanjutnya. Terimakasih"

"Terimakasih pak" Suara mahasiswa terdengar menggema di seluruh ruangan

Aku yang sedari perkuliahan tadi hanya melamun saja. Aku tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh dosen di depan ruang perkuliahan. Pikiran ku tetap saja kosong, aku hanya ingin segera keluar dari ruangan terkutuk itu. Tapi sepertinya bukan ruangan itu yang terkutuk, tapi aku yang terkutuk, ah sedikit bajingan sekali kurasa.

"Woy, mau ikut kerumah gue ga?" Tanya Anna padaku

"Ngapain?"

"Ya ngerjain laprak lah, masak mau berenang"

"Jangan dirumah lu lah nyet, dirumah gue aja. Mumpung lagi sepi"

"Oke deh, aku ajak "n the geng" ya?"

"Okay ajak aja"

Para beban keluarga itu akhirnya sepakat untuk bertandang kerumahku, mengerjakan laporan praktikum bersama. Ada aku, Anna dan 4 laki – laki lainnya. Tak bisa ku definisikan satu – satu tentang mereka, karena akan sangat panjang untuk di utarakan. Hanya satu yang bisa ku ceritakan, Nindia Kharisma Puji Lesmana panggil saja Anna. Dia ini 11 12 denganku, kenapa? Karena kita ini sudah seperti upin dan ipin saja. Entah dari sifat, fisik dan lainnya pun hampir sama. Hanya bedanya dia berambut sebahu dan suka K-Pop, sedangkan aku tidak. Kisah percintaannya pun juga membingungkan, pernah dekat dengan salah satu kating fakultas, tapi berujung kandas. Pernah pula dekat dengan pacar orang, tapi hanya dijadikan pelarian ketika bosan. Kasihan sekali nasib teman ku yang satu ini, tragis dan mengenaskan.

Butuh waktu hanya 15 menit untuk aku dan teman – temanku sampai dirumahku. Karena memang jarak dari rumah ke kampus lumayan dekat. Setelah membeli camilan untuk teman kita berpikir, aku dan teman – temanku langsung naik ke lantai atas rumahku. Disana mereka sibuk diskusi dan bergurau seperti lazimnya para mahasiswa yang sedang berkumpul, tapi itu tidak berlaku bagiku. Aku terlihat suram, sepi dan sendiri. Tatapan kosong kusuguhkan pada mereka, aku tidak bisa seperti biasanya melontarkan guyonan receh yang akan membuat mereka tertawa. Yang ada dipikiranku cuman "bagaimana cara agar Vino kembali padaku". Aku sadar betul bahwa aku terlalu egois untuk memaksamu tetap denganku saat ini. Aku tidak terbiasa tanpamu, tidak bisa ku bayangkan bagaimana aku tanpa peran kamu. Segala cara sudah kucoba untuk melupakankamu, tapi aku tidak pernah berhasil. Ini antara semesta yang tidak ijinkan aku untuk melupakanmu, atau aku saja yang rumit.

Aku berjalan ke piano organ milikku yang ada disudut ruangan. Satu persatu tuts piano ku tekan sesuai chord lagu yang ingin ku mainkan. Piano ini seolah selaras dengan perasaanku saat ini, nada yang keluar terasa menusuk sekali seolah dia tau betul bahwa aku sedang berusaha mengeluarkan emosiku. Emosi yang sudah tidak sanggup lagi aku sampaikan pada khalayak ramai, emosinya tertahan hanya dihati, pedih sekali.

~Ini aku..kau genggam hatiku, simpan didalam lubuk hatimu. Tak tersisa untuk diriku, habis semua rasa di dada. Selamat tinggal kisah tak berujung, kini ku kan berhenti berharap. Peepisahan kali ini untukku, akan menjadi kisah.. Sedih yang tak berujung~ [Sedih tak berujung – Glenn Fredly]

"Ril?"

Anna menepuk pundakku lemah, aku menoleh dan baru kusadari dia sudah duduk disebelahku. Dan dia berkata padaku

"Aku tau Ril gimana kondisimu saat ini, tapi aku yakin kamu itu bisa kok lewatin ini. Jangan hanya karena dirinya, kamu jadi kayak gini Ril, ga baik buat kamu sendiri"

"Kamu tau kan Na, seberapa berharganya dia buat aku. Luar biasa berharganya. Aku udah mati rasa buat jatuh cinta pada orang lain lagi"

"Hei hei... Indonesia itu luas dan kamu hancurin hidup kamu cuman untuk satu orang yang bahkan kamu sendiri tau bahwa dia aja ga pernah peduli sama kamu. Kamu cuman akan diketawakan sama dia karena kamu yang begini. Apa sih alasan kamu buat enggak melupakan dia? Ga ada kan?"

Anna benar, apa yang dikatakan Anna itu semua benar. Tidak ada alasan kuat yang membuat aku untuk tidak melupakannya. Dia terlalu menyakitkan untuk dikenang dan terlalu pedih untuk dirasakan kembali. Tapi masih tetap saja hati dan pikiranku tidak berjalan beriringan. Entahlah mana yang akan menang, akal sehat atau hati nurani, semuanya tampak membingungkan. Sedikit demi sedikit akan kucoba untuk sejenak rehat tentang urusan percintaan, isinya hanya omong kosong belaka, aku mati rasa. 

Luka, Cinta, dan Satu SemesterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang