23. Harus Baik-Baik Saja!

1.1K 82 7
                                    

Jihan baru saja memasuki rumah, keadaan sepi. Ya memang Julio dan Julian belum pulang. Ia tadi memilih pulang naik angkutan umum. Ia melirik kalender duduk yang berada diatas nakas dekat dengan sofa ruang tamu. Sudah seminggu kedua mertuanya tidak berada di rumah. Seharusnya menurut perkiraannya, kedua mertuanya itu sudah pulang.

Jihan berjalan memasuki kamarnya sambil berkutat dengan ponselnya. Ia ingin menelepon Jasmine untuk bertanya kabar dan tentang jadwal kepulangan Jasmine dan Arya.

Ia duduk dipinggiran ranjangnya dengan ponsel yang menempel di telinganya. Lagi-lagi suara operator terus menerus yang terdengar, yang mengatakan jika ponsel Jasmine tidak aktif. Ia berganti mendial nomor ponsel Arya. Namun sama saja. Nomor ponsel Arya pun tak aktif.

Jihan menghela nafasnya. Ia menaruh ponselnya pada nakas disamping ranjangnya, lalu ia beranjak dari duduknya untuk menaruh tasnya pada meja belajar miliknya yang berada tepat berhadapan langsung dengan jendela kamarnya.

Setelah itu, ia menuju lemari pakaiannya, mengambil kaos polos berwana biru muda dan hotpans sebagai setelannya kali ini. Ia melangkah memasuki kamar mandi untuk mengganti seragamnya dengan baju khas rumahan yang tadi ia pilih.

Tak lama kemudian, Jihan keluar dari kamar mandi dengan baju yang sudah berganti dan wajah yang basah. Saat berganti pakaian ia sekalian mencuci mukanya agar lebih segar setelah seharian merasa penat.

Jihan keluar dari kamarnya untuk menuju dapur, ia ingin mengambil minum. Tapi saat ia melewati ruang makan, ia melihat Julian tengah duduk manis memakan kue coklat dan cowok itu juga masih mengenakan setelan seragamnya.

"Kapan balik?" tanya cowok itu saat tak sengaja matanya bertemu pandang dengan Jihan. Tapi hal itu malah membuat Jihan bingung, tak biasanya Julian mau mengeluarkan sedikit tenaganya hanya untuk berbasa-basi dengannya. Tapi Jihan tetap menjawab pertanyaan dari Julian. "Sekitar setengah jam yang lalu mungkin."

Setelah mengatakan itu, Jihan langsung beranjak dari sana menuju dapur, lebih tepatnya pantri yang letaknya masih berhadapan dengan ruang makan untuk menuntaskan niatnya.

"Bunda sama Ayah ada ngabarin lo?" tanya Jihan berjalan mendekat ke arah meja makan, duduk disana, dan meletakan gelas bekas minumnya itu dihadapannya.

"Nggak ada," jawab Julian singkat masih sambil menyendoki kue coklat kedalam mulutnya.

Jihan berdecak kesal. Pasalnya hari ini seharusnya kedua mertuanya itu pulang, seharusnya mereka memberikan kabarnya ataupun pada Julian maupun Julio.

"Besok sampe rumah. Nggak usah khawatir, jarak Bali-Jogja kalo naik bus kan seharian," jawab Julian saat tak sengaja melihat raut khawatir dari istrinya itu. Istri? Julian belum memikirkan sejauh itu untuk menerima Jihan sebagai istrinya.

Jihan mengangguk lemah. Ia tanpa banyak kata ataupun pamit, ia langsung beranjak pergi dari sana menuju kamarnya. Sekarang ia ingin mandi. Ntahlah bagaimana pemikiran Jihan sekarang, kenapa tidak sekalian saja tadi saat ia berganti pakaian? Membingungkan.

***

Di pagi hari, saat Jihan telah siap dengan setelan seragamnya, ponselnya yang ada diatas nakas berbunyi yang membuat ia menoleh dari pantulan dirinya yang ada di cermin.

Jihan beranjak mengambil ponselnya yang ada diatas nakas. Ia mengernyitkan dahi saat melihat nomer yang tidak ia kenal menghubunginya, tapi tak urung tetap ia angkat.

"Halo?" sapanya.

"Apakah ini keluarga dari bapak Aryandi dan ibu Jasmine?"

Jihan semakin mengernyit. Bingung. "Iya saya menantunya. Ada apa ya?"

"Kami dari pihak rumah sakit ingin mengabarkan jika bapak Aryandi dan ibu Jasmine adalah salah satu korban kecelakaan bus yang dirujuk semalam."

"APA?!" Jihan membekap mulutnya sendiri. Ia sangat syok, bahkan tak lama air matanya pun menetes.

"Dirawat dirumah sakit mana? Terus keadaannya gimana? Ayah sama Bunda saya nggak apa-apa kan?" Jihan bertanya dengan berbondong-bondong dengan nada panik.

"Rumah sakit Persada Ngawi. Untuk keadaan, mohon pihak keluarga bisa secepatnya datang kesini untuk langsung konsultasi sama dokter."

Setelah itu, Jihan memutuskan sambungan teleponnya itu secara sepihak. Ia langsung berlari keluar kamar mencari suami dan adik iparnya itu.

"JULIAN... JULIO...," panggil Jihan dengan suara lantang dan tangisan yang mendominasi.

Julio turun dari tangga dengan tergopoh-gopoh, sedangkan Julian yang dibelakangnya hanya berjalan santai.

"Kenapa? Ada apa? Kok lo nangis? Lo sakit?" tanya Julio dengan memberondong yang di jawab Jihan dengan gelengan dan air mata yang tak henti.

"Terus kenapa? Berantem sama Julian lagi?" Merasa difitnah. Julian sang empunya nama pun tak terima dirinya difitnah sebagai penyebab tangisan dari Jihan kali ini, ia pun menoyor kepala Julio yang berada di sebelahnya. "Nggak usah fitnah lo."

"Kalo bukan Julian, terus lo kenapa?" Julio secara inisiatif menghapus air mata Jihan, tapi usaha itu sia-sia karena nyatanya Jihan semakin menangis saat mendapat pertanyaan itu. Ia tak tau caranya memberi tau kabar dari orang tua kedua cowok kembar dihadapannya.

"Gue berangkat, nggak penting banget manggil gue cuma buat liat lo nangis-nangis." Julian langsung melengos begitu saja pergi dari sana. Tapi baru beberapa langkah, suara seseorang menginterupsinya dan membuat langkahnya terhenti. "Bus yang dinaiki Ayah sama Bunda kecelakaan."

Julian hanya diam mematung tanpa menoleh sedikit pun kearah Julio atau Jihan. Sedangkan Julio, cowok itu pun juga sama mematungnya, tapi hanya sebentar karena setelahnya cowok itu beranjak kembali ke kamarnya dengan terburu-buru mengambil kunci mobil.

"Dirawa dirumah sakit mana?" tanya Julio cemas sesaat setelah cowok itu sudah kembali dari mengambil kunci mobil miliknya. Diraut wajah Julio saat ini hanya dipenuhi oleh kekhawatiran dan kecemasan, kesan cengengesan luput seketika.

"Rumah sakit Persada Ngawi." Setelah mendengar informasi itu, Julio langsung berlari menuju pintu utama.  Baru sampai di ambang pintu, ia menoleh lagi. "Kalian mau ikut nggak sih?!"

Jihan terkesiap mendengar suara tegas dari Julio. Sedangkan Julian, cowok itu juga tersadar dari keterkejutannya.

Mereka bertiga buru-buru menuju rumah sakit yang dibilang Jihan tadi. Mereka ingin tau keadaan Jasmine dan Arya sebenarnya.

Di dalam mobil, keadaan hening bercampur tegang. Julio yang berada di balik kemudi terlihat sekali mencengkeram kemudi dengan kencang, ia juga mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata dan bahkan beberapa kali mengklaksoni pengendara lain yang menghalangi jalannya. Julian yang berada disebalah kembarannya itu hanya bersikap tenang, bermain ponsel. Lebih tepatnya mencari informasi tentang kronologi kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya itu. Ntahlah kenapa disini hanya Julian masih dapat berpikir jernih dan tenang.

Jihan yang duduk dibelakang sendirian hanya bisa meremas-remas tangannya sendiri, menggigit bibir bawah bagian dalamnya, dan menangis tanpa suara. Ia khawatir, bercampur dengan ketakutan. Khawatir tentang keadaan kedua mertuanya itu dan takut dengan Julio yang menyetir dengan bringas. Kali ini Julio sangat menyeramkan dibandingkan dengan Julian yang terbiasa memarahinya.

Bunda sama Ayah harus baik-baik aja, batin Jihan disela-sela tangisnya.

***

Fairahmadanti1211

Julian Untuk Jihan [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang