Kintsukuroi

838 96 12
                                    


Gue mengecek direct message itu berkali-kali. Hanya dari Inbox, ga berani gue buka dan ga mau gue buka. Ga mau ngasih Ragil kepuasan kalau pesannya sempat "dilihat". Ga sampe lima menit kemudian gue lakuin hal yang sama. Pria diseberang ruangan yang sedang baca buku mulai resah ngeliat tingkah laku gue. Dia tutup bukunya, lepas kacamatanya kemudian menaruh keduanya diatas meja lalu bangkit dari tempat dia duduk.

Italia di bulan Mei udah mulai hangat. Pria itu telanjang dada, kalung titanium tipis yang melingkari lehernya berkilauan tertimpa cahaya lampu ruang tamu. Pinggulnya dibalut boxer katun super pendek yang longgar warna abu-abu. Kalau aja pikiran gue lagi ga kacau gue mungkin udah ngiler ngeliat daging kenyal yang berayun di dalamnya ketika dia berjalan.

Shit, what am i thinking?

"Kamu tau, ini udah tiga hari. Kamu masih belum siap cerita?" Pria itu meluk gue dari belakang. Dia kecup tengkuk gue. Janggut dan kumisnya yang tipis menggelitik. Gue berbalik.

"Maaf, aku ga tau harus cerita atau engga."

"Boleh aku tebak?"

"Give it a try,"

"Mantan kamu yang menghilang itu?"

Lutut gue lemah. Gue simpan telepon genggam itu di atas meja. Gue sembunyikan wajah gue di dadanya yang bidang dan telanjang. Pria itu, entah kenapa dia selalu berhasil baca pikiran gue. Ga pernah meleset.

"Kamu tau dari awal?"

"Ga juga, tapi tebakanku ga salah sepertinya. Dia kembali? Di mana dia?"

"Itu dia masalahnya. Aku ga berani buka itu, aku ga mau berurusan lagi sama dia. Not after I went through."

"Hey, memangnya kamu ga penasaran kenapa dia ninggalin kamu? Apa alesan dia? Kemana dia pergi selama ini? Menurutku kamu harus cari tau, kalo engga kamu ga akan pernah tau dan luka kamu ga akan pernah sembuh." Gue menengadahkan kepala gue ngeliat ekspresi wajahnya. Dia mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum. "Setelah kamu tau jawabannya, ketika kamu mau kembali aku ada disini. Kalau kamu mau pergi sama dia, aku yang antar."

"Kamu ga sayang sama aku?"

"Pertanyaan macam apa itu?"

"Terus? Kamu bakal relain aku pergi gitu aja?"

"Aku lakuin itu karena aku sayang sama kamu. Lagi pula, itu kan belum terjadi... Kamu bisa aja tetep milih aku nantinya kan?" Gue bisa denger detak jantung pria itu yang tenang. Dia sama sekali ga marah... Semua yang diucapkannya tulus.

Tuhan, bagaimana bisa Engkau mengirim pria seperti ini?

Waktu itu, Entah itu minggu kedua atau ketiga gue di Italia, tapi yang jelas itu bulan Agustus. Kuliah S2 gue mulai bulan September, sengaja datang beberapa minggu sebelumnya supaya terbiasa sama cuaca waktu dan lingkungan. Udah beberapa minggu di Milan gue masih asosial, karena pada dasarnya gue emang asosial. Ada beberapa orang dari Perhimpunan Pelajar Indonesia yang nawarin diri buat nemenin kesana kesini tapi dengan kepribadian gue yang ga mau ngerepotin orang, gue tolak.

Suatu Sabtu di bulan Agustus, gue liat pamflet tentang pameran seni dan salah satunya pameran keramik Jepang. Karena emang gabut ya gue putusin buat kesana sekalian jalan-jalan siapa tau dapet temen.

"Kintsugi." Kata seseorang tiba-tiba. Ga gue hiraukan karena gue pikir dia ga ngomong ke gue. "Kamu tau artinya?" Tanyanya. Gue masih ga ngeh. "Hey, kamu tau arti kintsugi?" Gue akhirnya noleh.

"Oh you are talking to... me?"

"Ga ada siapa-siapa lagi di seksi ini selain kita," katanya sambil tersenyum nunjukin giginya yang berderat rapi. Dia jilat bibir bawahnya yang merah ranum, lalu menggigitnya sebentar seakan dia menunggu jawaban. Pria itu punya kumis dan jenggot tipis yang cocok sekali di kulitnya yang putih susu. Matanya cokelat terang, dan ada anting tipis bulat berwarna hitam yang bergoyang dari daun telinga kirinya. Dia jangkung dan kalo diliat dari otot triceps dan dadanya yang bidang gue tau kalo dia suka berolahraga. Gue sempet speechless beberapa saat. "Are you there?"

"Oh iya, maaf. Apa tadi?"

"Kamu tau arti kintsugi?"

"Oh engga. Apa itu?"

"Itu liat!" Tunjuknya pada sebuah mangkuk keramik putih dengan garis emas yang tak beraturan. "Kintsugi atau Kintsukuroi itu seni membetulkan keramik yang udah pecah, biasanya pakai emas cair. Dari dulu aku suka banget sama kermaik macam begini. Cantik ya?"

"Aku sama sekali ga tertarik, jadi ga tau. Kebetulan aja sih tadi kesini. Kenapa kamu suka sekali sama itu?" Gue berusaha ga kedengeran canggung.

"Filosofi di baliknya. Bahwa sesuatu yang rusak masih bisa diperbaiki, bahkan menghasilkan sesuatu yang jauh lebih mahal dan berharga... Selalu ada kesempatan kedua... Aku pikir aku pernah seperti keramik itu... terpecah belah... aku pikir aku tak akan pernah bisa utuh lagi..." Dia kedengeran kaya ngomong sama dirinya sendiri daripada ngasih tau gue... Gue liat wajahnya yang memandang mangkuk itu lekat-lekat. Gue ikut memandanginya.

Bayangan-bayangan Ragil dan segala sesuatu yang terjadi dan gue alami setelah Ragil pergi berkelibat sangat cepat dalam kepala gue. Kalau boleh jujur, gue ke Italia aja ga bener-bener mau S2. Gue lari... karena kayaknya gue butuh waktu buat jauh dari segala sesuatu yang ngingetin gue sama dia. Meskipun udah 3 taun tapi kalo ngeliat segala apa yang terjadi... Gue rusak... Gue pecah dan pecahannya berserakan... Gue ke Italia karena gue ga mampu mengumpulkan kepingan-kepingan diri gue, kepingan-kepingan hati gue. Apakah gue bisa utuh lagi kaya mangkok itu?

Gue mengalihkan pandangan dari mangkok itu ke wajah pria di samping gue. Siapa yang menyangka bahwa seorang pria asing menjelaskan sesuatu seakan dia bisa membaca pikiran gue, seakan dia juga tau kalau gue sedang pecah berserakan.

"That's so cool. I will remember that for sure, thank you for telling me."

"My pleasure," jawabnya. Matanya kini udah tertuju ke wajah gue lagi. "Gimana, udah betah di Milan? Udah terbiasa?"

"Hah? Gimana kamu tau kalo aku baru di sini?"

"Aku kirim kamu pesan tapi kamu ga bales-bales!"

"Sorry? Aku ga kenal kamu. Kamu siapa ya? Kirim pesan ke mana?"

"Grindr. Tadi aku lagi scrolling aja dan ngeliat kamu ada disini hahaha, malu-maluin ya maaf..."

"Oh shit, gue lupa uninstall sialan!" Gumam gue dalam bahasa Indonesia.

"Kamu ngomong apa tadi?"

"Oh engga, aku harusnya hapus palikasi itu sejak lama. Ga berguna juga..."

"Untungnya kamu belum hapus, kalo ga aku ga bakal nemuin kamu. Ya kan?"

Gue cuman tersenyum simpul. Buru-buru gue keluarin hape gue dan buka aplikasi sialan itu. Bener aja, ada pesan masuk dari dia. Tapi sebelum gue baca gue udah putusin buat uninstall.

"Deleted."

"Does it mean im the one?"

"Maksudnya?"

"Orang-orang biasanya hapus Grindr kalo mereka udah nemu orang yang tepat. Apakah itu artinya aku orang yang tepat?"

"Haha nice try. I dont even know your name."

"It's Luca. Luca Caruso. And you are?"

"Gema Bimana, but look man, you are hot and ridiculously handsome. But it was a mistake. Im kinda not looking for anything right now."

"Pertama, makasih udah bilang aku tampan. Kedua kamu sangat kepedean ya padahal aku ga bilang apa-apa, tapi aku suka itu. Ketiga, aku juga ga nyari apa-apa. Jadi gimana kalo kita 'ga nyari apa-apa' barengan?"

KintsukuroiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang