Tujuh Belas: Secarik Perkamen

19 3 6
                                    

Sejak kedatangannya ke Tethys, ia belum menyentuhnya. Perkamen yang terlipat rapi dan terselip di dalam jubahnya. Perkamen yang ia ambil dari kamar Lethia pada perpisahan mereka.

Ia belum mendapatkan kesempatan untuk membacanya. Tapi ketika ia tahu Balvier menyerang, ia tidak berani untuk membacanya. Jika di dalamnya adalah ucapan selamat tinggal, maka hati Aran akan hancur. Keteguhannya akan runtuh, dan segalanya akan terlihat darinya di medan perang. Prajurit-prajuritnya kini bergantung padanya, dan ia tidak bisa mengambil resiko seperti itu.

Tapi untuk malam ini saja, Aran merasa berbeda. Jemarinya memainkan perkamen terlipat itu, menyusuri noda darah yang merembes di ujungnya. Aran merasa, jika bukan saat ini, mungkin ia takkan bisa membacanya lagi. Apakah ia sedang menyiapkan diri untuk kematiannya?

Ia menghapus pikiran itu dari benaknya. Ia tidak boleh mati.

Aran membuka lipatan di perkamen itu dengan cepat. Suara kertasnya menggema ke seluruh lorong, tapi tidak seorang pun memperhatikan. Sebagian telah tertidur, sebagian lain berjalan berkeliling memeriksa keadaan. Hati mereka ada pada perang yang sedang berlangsung. Hati Aran ada pada setiap lekukan tinta yang dibacanya. Pada setiap kata yang Lethia tulis.

Jika aku lancang, apa Pangeran akan menghukumku?

Apa Pangeran akan membenciku?

Karena dengan surat ini, aku bermaksud untuk mengaku dosaku. Tentang semua yang Pangeran tidak pernah tahu. Surat ini kutulis karena Pangeran takkan datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Ini, adalah kesempatan terakhirku.

Apa Pangeran tahu.... mengapa aku tidak pernah bisa tersenyum lebar?

Aku tahu, di balik semua benteng yang Pangeran bangun di dalam hati, Pangeran membiarkanku masuk. Di balik perintah-perintah itu, Pangeran hanya diam jika aku tidak menurutinya. Tidak pernah dengan teriakan atau pukulan, mungkin hanya gerutuan seraya Pangeran meninggalkan Lapis Lazuli.

Bahkan dengan gerutuan itu sekalipun, Pangeran akan kembali di larut malamnya. Mengguncang bahuku hati-hati, memintaku menuangkan segelas anggur untukmu. Memintaku duduk di seberangmu, lalu mulai berkata-kata padaku. Lembut, penuh perhatian. Walau tanpa maaf yang terucap, aku selalu mengerti apa yang ada di hatimu.

Dalam sehari, waktu yang terasa paling panjang bagiku adalah malam hari. Ketika aku berpura-pura terlena dalam mimpi, walaupun kesadaran masih ada padaku. Bertanya-tanya pada diriku sendiri, apa larut malam ini Pangeran akan datang lagi. Apa kemudian Pangeran akan memelukku dan berbaring di sampingku hingga pagi hari. Di malam-malam seperti itu, aku akan terjaga dengan napas Pangeran teratur di sampingku.

Memperhatikan wajah Pangeran dalam setengah mimpi, aku bertanya pada diriku sendiri. Pertanyaan-pertanyaan yang takkan pernah kusuarakan.

"Apa Pangeran di sini karena Pangeran merindukanku?"

"Apa Pangeran di sini karena Pangeran menginginkan maafku?"

"Apa Pangeran di sini karena ingin menyentuhku?"

Jika Pangeran menjawab tidak untuk pertanyaan-pertanyaanku, mungkin aku akan tenang.

Tapi tenang bukanlah yang kuinginkan. Kebahagiaanlah yang kurindukan. Yang Pangeran tawarkan untukku adalah cinta yang menyesakkan, yang memenuhi setiap jengkal badanku.... hingga terkadang aku lupa untuk bernapas. Karena aku tahu di ujung cinta ini tidak ada kebahagiaan, tapi aku tetap jatuh ke dalamnya.

Dibanding tersenyum lebar, saat-saat bersama Pangeran lebih ingin kulewati dengan air mata

Kalimat Lethia terputus. Ujung katanya menjadi sebuah coretan pendek, bukti bagaimana Lethia menarik ujung perkamen segera setelah ia melihat kedatangan Aran.

Lapis Lazuli (COMPLETE STORY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang