Letusan api dan semprotan es keluar dari telapak tangan kanan dan kiriku. Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Membakar dan membekukan rerumputan setinggi tujuh puluh lima sampai seratus sentimeter di hadapanku.
Tubuh Tristan terselimuti oleh cahaya kuning, dan sedikit cahaya jingga muda. Lalu setelah beberapa detik, cahaya itu menghilang, seketika tubuhnya kembali mengenakan zirah baja hitam, dengan bandana yang juga terbuat dari baja, dan dua perisai bulat berdiameter tiga puluh lima sentimeter yang menempel di kedua punggung pergelangan tangannya.
“Aran, coba hentikan apinya,” ujar Febri, setelah beberapa saat. “Itu terlalu besar, sabana ini bisa hangus terbakar.”
“Bagaimana caranya?” Sambil mengernyit ke arahnya.
“Bayangkan, lalu rasakan jika api yang menyembur dari tanganmu habis. Atau, coba bayangkan ada keran air yang sedang menyala, lalu kau menutupnya.”
Aku berdecak. Kenapa harus bayangkan, bayangkan terus, sih?——oke, aku sedikit panik. Tapi aku mengikuti perintahnya, mataku menatap lurus ke arah tangan kananku yang sedang menyemburkan api. Kemudian aku membayangkan jika terdapat selang yang menyemburkan api, tepat di mana api menyembur. Lalu aku membayangkan sedang memutar keran yang ada di dalam diriku sendiri, agar semburan api itu mengecil, lalu berhenti. Kelihatannya mungkin mudah, kami hanya perlu membayangkannya saja, tapi garis bawahi, berimajinasi, membayangkan, merasakan, dan fokus itu cukup sulit ketika dilakukan bersamaan. Dan, benar saja, api yang menyembur mulai mengecil. Dan di saat yang sama, aku... merasa seperti saat air pipis yang keluar akan berhenti——ini gila, tapi ini terjadi.
Api pun tidak lagi keluar, dan aku tidak lagi merasakan sesuatu yang hangat di telapak tangan kananku. Aku membalikkan telapak tanganku ke arah wajah, tidak ada lagi cahaya merah kekuningan yang bergerak-gerak di bawah kulit.
“Sekarang padamkan api yang berkobar itu dengan es milikmu, lalu coba praktikkan kembali apa yang aku katakan untuk menghentikan semburan esnya,” ujarnya, lagi.
Kuanggukkan kepalaku, lalu melakukan apa yang dia katakan.
Tristan mulai bertanya, “Bagaimana denganku, Kak?”
“Bagus, kau sudah berhasil berkomunikasi dengan hatimu,” katanya.
Aku selesai melakukan apa yang Febri katakan, lalu bertanya pada Tristan, “Suara yang kau dengar seperti apa? Dan, bagaimana kau berkomunikasi dengannya? Sejak tadi kau hanya diam.”
“Suaranya mirip suara Abang, atau mungkin Kakak, yang disatukan menjadi satu suara,” jawabnya. “Aku pikir itu memang suara Kakak, tapi ternyata bukan, karena aku mendengar juga pembicaraan kalian tadi. Dan suara itu berkata jika dia bukan Kakak.”
“Lalu?” kataku, memintanya melanjutkan perkataannya.
“Tadi kau tanya apa lagi?”
Kuputar mataku. “Bagaimana kau berkomunikasi dengannya?”
“Oh, iya,” katanya. “Mirip seperti telepati Hamia yang pernah dilakukan oleh Kakak ketika Tes Awal kita waktu itu.”
Kuanggukkan kepalaku untuk meresponsnya. “Apa yang dia katakan?”
“Kami mengobrol banyak hal,” jawabnya. “Aku merasa seperti sedang mengobrol pada diriku sendiri. Dia menyenangkan, seperti seseorang yang mudah bergaul. Kenapa bisa seperti itu, Kak?” Sambil melirik Febri yang sejak tadi diam, menyimak pembicaraan kami.
“Dia cerminan dirimu sendiri, itu sebannya kau merasa cocok dengannya.”
Kami berdua mengangguk-angguk sambil membentuk mulut dengan huruf o kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aran Alali #1: Hujan Darah Iblis
Fantasía[SELESAI] [FANTASI] [13+] "Aku pikir, hidupku normal seperti remaja empat belas tahun lainnya. Hanya memusingkan tentang pacaran, jerawat, bermain, dan sebagainya. Tapi, hidupku lebih daripada itu." Aran, seorang remaja yang kehidupnya seketika ber...