Too Late.

197 29 11
                                    

Sehun menatap sedih punggung ayahnya yang menghilang dibalik pintu. Ia baru pulang dari sekolah ketika berpapasan dengan sang ayah diruang tamu. Menunduk menatap sebuah piala ditangannya yang ia dapat dari mengikuti lomba sains. Piala itu bertuliskan juara satu, namun wajahnya menunjukkan kekalahan.

"Sehun_ah, kau sudah pulang?"

Suara sang ibu membuatnya berbalik. Senyum yang sempat sirna ia ukir kembali diwajah manisnya. Mendekati ibunya dengan piala ditangan ia sodorkan pada wanita paruh baya tersebut.

"Sehunie memenangkan jauara pertama lagi dalam lomba sains?"

Ibunya bertanya dengan raut bangga dan bahagia meski ini bukan pertama kalinya. Sehun mengangguk senang.

"Sehunie memang pintar!"

Pujian ibunya justru membuat senyuman Sehun kembali luntur. Ada hal lain yang ia pikirkan.

"Eomma, kenapa appa membenciku?"

Yoona tercekat, otaknya berpikir keras untuk merangkai jawaban.

"Tidak! Siapa yang mengatakan bahwa appa membenci Sehunie? Appa menyayangi Sehunie."

Niatnya ingin menghibur, namun kebohongannya hanya membuat Sehun semakin terluka. Bagaimanapun Oh Sehun bukan bocah usia lima yang akan selalu percaya ucapan ibunya.

Anak lima belas tahun itu menunduk dan menggeleng pelan. Tak ingin melihat wajah sedih sang ibu yang tengah berusaha menghiburnya. Selalu seperti ini setiap kali ia menanyakan hal yang sama. Namun kini ia tak akan lagi berpura-pura percaya.

"Appa membenciku. Appa tidak menyayangiku."

Ucapnya yakin namun terdengar pilu. Yoona harus menahan air mata yang siap tumpah kapan saja.

"Appa tak pernah ada untukku. Kami bahkan tak pernah bicara satu sama lain jika bukan sesuatu yang sangat penting. Appa tak pernah membalas salamku. Tersenyum padakupun tidak. Appa tak suka berlama-lama didekatku. Appa tak pernah menatapku ketika kami berpapasan. Kami seperti orang asing meski tinggal bersama."

"Sehun-ah.."

"Eomma. Apa aku bukan anak appa?"

Pertahanan wanita paruh baya itu runtuh ketika Sehun mengangkat wajahnya yang telah basah oleh air mata. Sehunnya jarang menangis. Ia anak yang kuat. Bahkan ketika anak itu terjatuh dari sepeda dengan luka berdarah pada lututnya saat menginjak usia delapan, anak itu hanya akan meringis untuk mengekspresikan rasa sakit.

Yoona segera merengkuh tubuh Sehun untuk ia bawa pada pelukan hangatnya. Sehun masih terisak dengan wajah berada dicurek leher sang ibu. Sementara diambang pintu terlihat seorang pria paruh baya yang menatap keduanya dengan ekspresi terluka yang sama.

Yoona melihatnya, mata tajam yang kini beradu pandang dengannya dengan nanar.

🐣🐣

"Sikapmu hanya membuat dirimu sendiri dan kami terluka."

Yoona memulai pembicaraan ketika Sehun telah terlelap dikamarnya. Seseorang yang duduk dihadapannya ini harus segera disadarkan sebelum semuanya terlambat.

"Aku sudah terluka sejak lama."

Jawab orang itu.

"Ini tak adil baginya. Sehun membutuhkan kasih sayangmu sebagai ayahnya."

"Anak itu membuatku kehilangan Yuri."

"Kematian Yuri bukan salah Sehun! Bagaimana mungkin kau menyalahkan seorang bayi yang baru lahir dan membencinya selama lima belas tahun. Seorang bayi yang baru lahir tidak memiliki dosa sama sekali. Bahkan hingga usianya menginjak lima belas tahun, Sehun tak pernah melakukan kenakalan seperti anak-anak pada umumnya dan selalu menjadi anak yang baik untukmu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 29, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Too LateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang