| Chapter 16 |
Deheman Mala cukup keras terdengar karena suasana tidak seramai sebelumnya. Yang lain hanya melirik, lalu kembali melamun sambil mengarahkan fokus ke arah yang berbeda. Mala menghela napas kasar. Ia memeluk lutut dan meletakkan dagu di atas kedua lututnya.
Tak jauh di kanan Mala, ada Rajit yang sedang duduk di tepi pos dengan kaki yang sesekali mengayun pelan. Kemudian, di depan Mala ada Caya dan Gean yang dipisahkan jarak sekitar setengah meter. Dua orang itu pun tampak melamun. Caya sama seperti Mala—melipat lutut, namun punggungnya menyandar ke pilar. Sedangkan Gean menyandar di sisi pilar satunya dengan kaki menjulur ke depan.
Jam menunjukkan pukul empat sore, tapi dari mereka berempat belum ada yang meminta pulang. Sejak Yori menghilang bagai sulap, pikiran mereka dipenuhi oleh hal-hal yang seharusnya tidak mereka pikirkan.
Apalagi saat Rajit ingin mengambil kartu hitam yang menyebabkan Yori bisa menghilang, kartu itu sudah lebih dulu berubah menjadi abu. Makanya, sekarang Rajit merasa kesal dan dipermainkan. Yori itu aneh. Dan Rajit tidak mengerti apa yang Yori celotehkan panjang lebar beberapa saat lalu.
Gean menegakkan punggung. Di tangannya ada ponsel yang menyala. “Guys, kalian dapet DM, nggak?” tanyanya. “Isinya—“
“Kita disuruh ke Istana lagi?” potong Rajit dari tempatnya duduk. Ia menoleh, lalu menatap satu per satu temannya. “Gue nggak mau.”
“Kenapa mereka manggil kita lagi? Bukannya kita udah nggak diperluin?” Mala berujar dengan mata fokus ke layar ponsel. Habisnya ini aneh.
Beberapa hari yang lalu—dengan jelas-jelasnya Antonio dan Andar mengusir—mereka sudah dinyatakan tidak lagi terlibat dalam kasus itu. Dan sekarang, kenapa akun yang dulu menghubungi mereka, kini kembali mengirimi pesan?
Sebenarnya apa yang akan terjadi kalau buku itu kembali?
Lalu, apa yang akan terjadi kalau buku itu hilang selamanya?
Caya diam saja dari tadi. Dia juga mendapatkan pesan yang sama dari akun yang saat itu menghubunginya. Bimbang sebenarnya. Antara takut dan penasaran tujuan pihak sana memanggil mereka kembali. Takut kalau tujuan mereka dipanggil hanya untuk disudutkan perihal buku S-157 yang hilang.
Tiba-tiba Gean berdiri dan melompat. Iris birunya diarahkan ke Caya. “Ca, pulang, yuk?” ajaknya. “Gue lupa kalau hari ini ada janji main game dua babak sama Aka.”
Kepala Caya terangguk. Kemudian, ia berdiri tanpa bertanya atau mengucap apa pun. Karena Caya sudah terbiasa akan kegiatan kurang kerjaan—namun menghasilkan banyak uang—yang sering Gean dan Aka lakukan. Coba saja Caya memiliki bakat seperti Aka, pasti dia juga sudah punya banyak tabungan.
Mereka berempat baru ingin berjalan menjauh, sebelum akhirnya ada seorang pria setengah abad berseragam navy dengan sepatu boots hitam besar menghampiri. Pria itu mengarahkan tongkat bawaannya ke arah pos yang sebelumnya mereka tempati. Wajahnya terlihat marah.
“Hei, rapikan dulu bekas makanan kalian!” serunya tajam. “Ini bukan tempat milik nenek moyang kalian, jadi jangan menambah pekerjaan saya di sini. Cepat bereskan itu sebelum saya laporkan kalian ke pusat!”
“Oke, Pak. Sabar, Pak, sabar. Nggak baik marah-marah terus, nanti tuanya tambah cepet,” balas Gean dengan tak tahu dirinya. Satu tangannya terangkat, lalu melanjutkan, “Ayo, guys, beresin bekas makan kita. Jangan sampai menyisakan sampah sedikit pun, ya, teman-temanku.”
“Lo, sih, beli jajanan banyak banget,” gerutu Rajit, namun tetap mengambil bungkus-bungkus kosong itu dan memasukkannya ke tong sampah terdekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost History; S-156 [Book 2]✔
FantasiHilangnya Buku S-156 dari Istana membuat mereka kembali mengalami petualangan gila untuk yang kedua kalinya. |•| [The Lost Series; Book 2 : S-156] Misi untuk menemukan buku yang hilang malah membuat Caya dan teman-temannya bertemu dengan satu makhl...