Indira
Aku bersandar di balik meja kasir, tenagaku rasanya hampir habis. Aku bisa pingsan kalau terus-terusan berdiri. Inilah yang paling tidak kusuka dari shift pagi di hari Minggu. Toko akan sangat penuh sampai menjelang siang seperti ini.
Ditambah lagi, Mbak Sesil tidak masuk hari ini. Jadi hanya tersisa aku dan Kinan yang harus menghadapi cobaan berat di Minggu pagi.
"Mbak!" Suara itu terdengar dari balik meja. Aku segera berdiri, merapikan seragam merah yang kusut masai.
Untung saja Bu Anisa sedang tidak di sini. Kalau ada, bisa mampus aku. Meskipun beliau sangat menerimaku sebagai calon menantu, aku tidak pernah dapat perlakuan khusus di toko ini. Aku bersyukur akan hal itu, setidaknya tidak akan ada drama saling iri seperti yang terjadi di FTV.
Aku mendongak setelah mengambil kantung belanja, bersiap mengambil apa pun yang orang itu sodorkan untuk dihitung. Mataku membulat mendapati wajah yang sedang menampilkan seringai jahil di depanku.
Sial! Bagaimana bisa aku tidak mengenali suara Mas Reyhan?
"Nyebelin banget sih, Mas!" Ujarku seraya menjatuhkan kantong belanjaan begitu saja, disusul dengan tubuhku yang ikut-ikutan jatuh dengan dramatis di lantai. Bergegas mencari sandaran yang nyaman.
"Capek banget, ya?" Dia bertanya setelah memasuki area khusus karyawan, duduk lesehan di sebelahku tanpa rasa canggung sama sekali.
"Kinan kemana?"
"Nggak tau, tadi ada ibuk-ibuk yang minta ditemenin nyari sesuatu, hampir se-jam nggak balik juga, sekalian makan di belakang paling." Aku menjawab tanpa menoleh ke arahnya, posisiku terlalu nyaman untuk sekedar mendongakkan kepala.
Tubuhku ditarik untuk rebah ke sebelah, bersandar pada pundak kokoh milik cowok tampan itu. Rasanya nyaman sekali, seperti sedang bermanja-manja pada kakakku sendiri.
Jika boleh jujur, seperti itulah perasaanku pada Mas Reyhan. Rasa nyaman yang aku dapatkan, sama sekali tidak bisa menaikkan posisinya di hatiku. Tidak tau kenapa, dia hanya stuck sampai posisi kakak bagiku.
Aku sudah mencoba membuka hati untuknya, berjuang keras menekankan pada hatiku bahwa dia adalah satu-satunya orang yang layak menjadi pendamping hidupku. Sayangnya, sampai empat bulan lebih kami menjalin hubungan, rasa itu belum juga tumbuh.
Tapi tak apa, siapa yang membutuhkan cinta saat pasangan kita sudah mempersembahkan segala kenyamanan saat berada di sisinya.
Ya, awalnya aku berpikir begitu. Sayangnya, kedatangan seseorang di masa lalu membuat pendirianku sedikit goyah. Melihat wajahnya lagi membuat hatiku bimbang. Aku takut akan melakukan tindakan bodoh lagi. Meninggalkan segalanya demi sesuatu yang ku sebut cinta.
"Nggak ada kasirnya, Ma." Suara itu mengagetkanku. Aku akan berdiri saat tangan Mas Reyhan menahanku.
Dia hanya tersenyum saat aku melemparkan pandangan bertanya. Dan pertanyaanku terjawab saat dia berdiri. Melayani pembeli itu dengan begitu telaten, menggantikan tugas yang seharusnya aku lakukan.
Aku heran, apa yang salah dengan mas Reyhan? Dia benar-benar calon suami idaman. Semua wanita pasti akan langsung jatuh cinta padanya, hanya dengan sekali pandang. Tapi, kenapa hatiku tidak kunjung terbuka untuknya?
Lima bulan lalu, saat aku mentraktir cowok itu dengan gaji pertamaku sebagai guru, dia menyatakan perasaannya. Di warung pinggir jalan yang menjadi tempat makan favoritku. Dia menembakku di sana karena mengetahui hal itu.
Waktu itu, aku tidak bisa menjawab. Terdiam seribu bahasa, karena tidak tau bagaimana harus meresponnya. Seumur hidup, aku hanya pernah ditembak dua kali. Pertama, saat aku masih kelas tiga SMA, dan yang kedua, hari itu, saat aku sudah berusia dua puluh empat tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...