Wajah Jimmy terlihat lebih pucat dan lesu dari biasanya. Dia jelas kelelahan, seperti kurang tidur.
"Gue harus ikut acara mereka berdua. Non stop. Sampe malem."keluhnya saat aku dan Jimmy berjalan menuju parkiran. "Kayaknya hari ini nggak bisa latihan lagi. Besok juga. Gue harus ikut keluar kota."
Aku hanya bisa mengangguk memaklumi. Kata Theo, orang tua Jimmy memang menakutkan. Jimmy termasuk beruntung karena hanya perlu sesekali bertemu dengan orangtuanya.
"Yaudah kita latihan dulu nggak pake drummer."tiba-tiba Theo muncul entah dari mana, menyeruak diantara aku dan Jimmy. Aku agak terdorong ke depan hampir saja kehilangan keseimbangan dan menabrak tiang.
"Muncul dari mana sih?"gerutu Jimmy sambil menepis tangan Theo yang mencoba merangkul bahunya.
Theo hanya cengengesan.
Sampai di persimpangan koridor kelas 12 aku dan Theo berbelok ke kanan menuju parkir motor sementara Jimmy ke kiri karena dia selalu membawa mobil ke sekolah.
"Beneran mau latihan nggak pake drummer?'
"Ya nggak lah."Theo terkekeh sambil merogoh saku celananya. "Bertiga aja udah dikit apalagi berdua. Bukan ngeband namanya." Dia memasukkan tangan ke saku lebih dalam, merogoh-roroh. Dahinya berkerut saat berpindah membuka tasnya "Kontak motor gue mana ya?""Biasanya kan lo taroh saku."aku ikut mengedarkan pandangan di sekitar. Siapa tahu Theo menjatuhkan kontak motornya di dekat-dekat sini.
"Duh dimana ya" Theo masih membungkuk-bungkuk, menatap tanah sambil berjalan perlahan. Sudah lima belas menit berlalu sejak bel pulang berbunyi, parkiran sudah mulai sepi. Harusnya lebih mudah mencari di dalam kondisi ini.
"Kagak ada. Jatuh di kelas kali."Aku mengikuti langkah Theo dari area parkiran sampai koridor menuju kelas 12.
Theo menggaruk belakang kepalanya, lalu seperti baru menyadari sesuatu dia mulai berjalan cepat meninggalkanku.
"Mau gue bantuin nyari nggak?"
Theo berbalik, mengibaskan tangan. "Lu duluan aja."katanya sambil berlari menjauh.
Kalau boleh jujur aku juga agak malas membantu Theo. Sudah beberapa kali anak itu lupa menaruh barang. Dua hari lalu dia heboh hpnya hilang padahal ada di dalam tas, dibagian paling bawah.
Aku berjalan pelan ke area parkir menuju motorku. Aku memasang helm lalu menyalakan sepeda motor. Saat akan melewati gerbang sekolah aku melihat Ara berdiri menghadap pintu keluar parkiran. Dia berdiri diantara empat siswi yang melingkarinya, terlihat mengajaknya bicara. Keempat siswi itu terlihat berbicara tanpa henti tapi anehnya Ara hanya diam mengerutkan dahi seolah merasa terganggu.
Kubuka kaca helmku, bermaksud melempar senyum dari atas sepeda motor yang melaju pelan saat nanti melewatinya. Belum sampai tepat didepannya. dia menyadari kehadiranku dan memanggil namaku keras sampai keempat siswi disampingnya dan orang-orang yang ada di sekitar gerbang ikut menoleh ke arahku.
Aku mengerem mendadak karena kaget.
Ara berlari kecil dengan pipi memerah. Berani bertaruh, aku yakin gadis itu malu sekali karena menjadi pusat perhatian.
"Kenapa belum pulang?"tanyaku basa-basi. Padahal alasannya jelas. Ara selalu pulang dengan Theo. Begitu juga berangkat sekolah. Hari dimana aku pertama kali bertemu Ara benar-benar keberuntungan. Katanya di hari itu Ara marah dengan Theo yang terlambat datang menjemput dan nekat naik bus untuk pertama kalinya.
"Theo lama. Boleh pulang bareng Kak Khafa aja nggak?"suaranya terdengar agak putus asa ditelingaku.
"Boleh kok. Mau diantar ke kosan?"
Ara mengangguk sambil mengambil helm cadangan yang selalu ku kaitkan dipegangan belakang.
"Kontak motor Theo masih belum ketemu ya?."aku mencoba berekspresi datar seperti biasa meski sebenarnya aku ingin tersenyum lebar sekarang.
*
Aku menghentikan speeda motor di depan gerbang kos Ara. Gadis itu meluncur turun dengan anggun.
"Makasih ya Kak." Helm yang dia kenakan diserahkan kepadaku.
"Iya sama-sama. Tadi temen sekelas Ra?"
"Bukan."jawabnya singkat. Ara melanjutkan cepat. "Hari ini kakak sama yang lainnya nggak latihan lagi?"
"Jimmy-nya nggak bisa."aku mengaitkan helm di gantungan depan motor. "Katanya dia harus ikut orang tuanya. Latihan berdua doang juga percuma. Jadinya libur dulu."
Aku mendengar Ara bergumam tak jelas.
Aku menoleh menatapnya bingung. "Hah? Gimana?"
Ara menipiskan bibir. "Hm... jadinya kakak mau nyanyiin lagu apa? Kurang 4 bulan sebelum pendaftaran buat seleksi pertama."katanya lirih.
Benar juga aku belum mengatakan pada Ara dan yang lainnya lagu apa yang aku ingin nyanyikan. Aku sudah memikirkan hal ini beberapa hari. "Gue lebih suka lagu-lagu yang nenangin."
"Lagu-lagu yang tenang?"
"Boleh nggak sih?"aku jadi ragu. Jangan-jangan ini tak cocok dengan band. Ara mengangguk kecil. "Boleh banget."
'Kruyuk'
KAMU SEDANG MEMBACA
ADAGIO
Teen FictionAwalnya Khafa tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Segala hal, apalagi cinta, butuh waktu untuk tumbuh dan dirasakan. Ibarat musik semuanya harus mengalun dengan tempo yang tak terlalu cepat dan mengalun lembut (adagio). Khafa percaya...