Part T

577 37 6
                                    

Aku mematikan mesin motor saat sampai di depan bengkel Adit. Setelahnya, aku turun dan berlari menghampiri Adit yang sedang berkutat sepeda motor di depannya. Wajah lelaki itu sama sekali tidak bersahabat.

"Kak Adit," panggilku pelan dari samping lelaki itu. Tidak ada sahutan. Adit masih sibuk mengencangkan baut.

"Kak, aku bakal jelasin semuanya." Adit masih bergeming. Bahkan dia tak menatap sedikitpun.

Sesaat setelah itu, seorang laki-laki paruh baya masuk ke bengkel dengan menuntun motor. "Mas, motor saya mogok. Tolong dibenerin, Mas."

"Ohh iya, Pak. Bentar, nunggu ini selesai dulu yah." Adit berbicara sopan dan menunjukkan wajah ramah. Sangat berbeda dengan saat merespon ucapanku tadi.

"Kak, tadi aku cuma-"

"Permisi, Mas. Saya mau servis sama ganti oli."

Ucapanku terpotong oleh perkataan seorang wanita yang baru saja datang. Adit menatap wanita itu. "Baik, Bu. Tapi nunggu lumayan lama kayaknya. Nggapapa?"

"Di sini ada WiFi, kan?" tanya wanita itu.

"Ada, Bu," jawab Adit.

"Oke. Nggapapa. Saya nunggu sambil WiFian."

"Silakan, Bu."

Adit kembali fokus memasang baut cover yang artinya sebentar lagi dia selesai. Dia benar-benar menganggapku tidak ada. Aku seperti angin lalu yang tidak terlihat.

"Kak."

Adit mengelap cover yang sudah terpasang lantas keluar sambil menuntun motor yang baru saja ia perbaiki. Lelaki itu tersenyum pada pelanggan yang baru saja diperbaiki motornya. Setelah itu, dia kembali masuk untuk menggarap motor bapak-bapak yang tadi mogok. Lelaki itu menempatkan motor di atas bike lift. Sama sekali tidak menatapku.

"Kak Adit. Please, Kak."

"Kak!"

"Lo berisik banget, sih! " sentak Adit emosi. Aku terpaku di tempat. Ini pertama kalinya Adit berbicara padaku dengan nada seperti itu. "Kalau emang nggak ada niat bantu, mending pergi aja!"

"Seenggaknya dengerin penjelasan aku dulu, Kak."

"Lo nggak liat gue lagi sibuk?"

Aku menatap Adit tak percaya. Apa tidak ada kata yang lebih halus untuk sekedar bilang nanti? "Oke, Kak. Aku pergi."

Aku keluar bengkel dengan langkah cepat. Aku akan menandai hari ini sebagai hari paling buruk dalam hidupku.

***

Aku memasuki rumah lantas menghempaskan tubuh ke sofa. Tanganku terkepal kuat mengingat semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Apalagi dengan Adit yang tadi bersikap seperti tadi, rasanya semua masalah ini semakin berat saja. Aku sempat berpikir kalau keputusanku menjadi pacar Adit adalah kesalahan. Andai saja aku dan Adit tidak jadian, mungkin aku masih bisa tertawa lepas bersama Pram dan Ardi.

Aku menghembuskan nafas kasar kemudian tersenyum sendiri. Aku menertawakan diriku saat ini. Seperti ada beban berat yang menggunung di atas kepalaku. Dan aku tidak punya tempat untuk sekedar berbagi cerita. Semua orang terdekatku pergi menjauh.

Aku merogoh saku celana dan mengambil sesuatu yang tadi sempat ku beli. Menyalakannya, lantas mengepulkan asap. Menikmati setiap hisapan yang entah kapan terakhir kali aku melakukan kegiatan seperti ini.

Hisapan demi hisapan, hingga akhirnya satu batang habis. Aku mengambil korek, bermaksud menyalakan batang kedua. Namun niatku urung saat terdengar suara hujan turun. Pandanganku tertuju pada jendela depan yang menampilkan hujan secara langsung.

LingkupTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang