Banyuwangi, 1907
Bedug jelas ditabuh beberapa menit silam. Gelap menggulingkan hari samar muka yang turun merapat kian jelas batang hidungnya. Lantas, kedua tungkak saya bergegas minggat dari gubuk lantaran tak tahan dengar kedua cucuk orangtua yang pada adu telingkah. Terlampau kerap mereka berselisih sampai saya berteman dengan kelemur─yang menjadi kawan baik tiap pertikaian tak ada habisnya. Dibuat jengah, namun tak mampu berupaya sebab sepuh umurnya ialah alasan.
Menjejak tanah, alas kaki tak pernah lengai saya ajak keluar. Saya tak ada nyali untuk berbalik ke dalam gubuk, meski mamak telah teriaki saya; anak gadis tak boleh keluar malam, begitu katanya. Ah, apa boleh perbuat, ayah saya yang totok itu dan mamak yang asli pribumi tak pernah selurus paham. Telinga saya pekak tiap malam disuguhi konflik, tak ada habis, tak ada henti, apalagi jeda. Gontok-gontokan ibarat jagoan beradu ilmu. Saya anak gadisnya sungguhlah tak tahan lagi.
Gontai sudah langkah saya, hilang arah. Dingin yang menggerogoti sukma ibarat musuh yang tak suka saya abai. Saya masa bodo. Saya hanya mau melangkah bersama gaun putih saya yang lusuh tampakannya, yang sudah tentu tak cukup lagi tangguh menahan hawa malam. Dari desa ke desa sudah saya lalui meski sampai terseok-seok kedua tungkai ini. Semakin malam, semakinlah saya kebingungan sebab asing nampaknya daerah yang kini saya pijaki.
"Wis arep muleh aku, Min. Kowe ojo muleh malem-malem, bapakmu misuh berabe." (baca; Yasudah aku balik duluan, Min. Kamu jangan pulang malam-malam, ayah kamu marah berabe).
Rungu saya jadi mendadak peka tak sengaja dengar adu cakap seseorang di balik bangunan bambu yang tak jauh dari tempat saya berdiri. Intuitif, morotik saya bergerak mendekat tatkala pemuda dengan sarung lusuh serta kaus putih itu telah duduk seorang diri sembari menyesap nikmat segelas kopi.
"Permisi," saya berujar, "boleh saya numpang sejenak di gubuk ini?"
Pemuda itu nampaknya agak terkejut, namun ia cukup pandai meredam emosi dengan anggukan spontan, "Silakan, Mbak─eh, Noni maksud saya."
Ah, hampir lupa perkara saya yang Indo ini. Saya gadis Indo keturunan totok Nederland dengan gundik asli Banyuwangi. Saya ini salah satu anak yang tersisa di sini sebab anak ayah yang lain dilayarkannya ke Nederland. Saya juga baru ingat kalau saya─
"Non ...?"
"Noni?"
"Eh?" Saya mengerjap skeptis, "Ada apa?"
Pemuda itu terdiam lantas ia serahkan sarung lusuh yang membelit tubuhnya pada saya sebagai adab moril yang baik, "Pakai Non, dingin."
Saya terkekeh, "Dank u." Lalu mengambil sarung tersebut dan membalutkannya ke tubuh saya sendiri, "Nama Engkau siapa?
"Jimin."
Saya terdiam. Pemuda itu juga. Kami berdua sama-sama dibalut keheningan mendadak. Barangkali pemuda itu merasa rikuh, sebab berdua-duaan tengah malam dengan seorang gadis. Bila tak digosipi, mungkin pula besok pagi kami akan dinikahkan. Saya rasa pemuda itu takut-takut memikirkan nasibnya akibat saya yang menumpang duduk secara cuma-cuma.
"Tak pulang engkau?"
Jimin menggeleng, "Ronda malam."
Saya hendak tertawa mendapati lagaknya yang rikuh begitu. Kendati memulai percakapan, Jimin kembali terdiam. Ia tak pandai berbasa-basi, barang sekadar sowan kedua bola mata saya pun ia tak sanggup. Saya paham, sepertinya saya yang harus tahu diri bilamana tak ingin merepotkan lebih lama. Saya ini seperti ajag yang tahu-tahu mengganggu, sudah sepantasnya memang pemuda itu merasa risih.
Saya mengembalikan sarung lusuhnya, "Saya hanya berkunjung sebentar. Terima kasih."
Pemuda itu mengangguk. Lalu saya hendak berjalan kembali sebelum suara Jimin yang kurang ajar menginterupsi, "Pulanglah, Non. Abang engkau barangkali berduka dari Nederland tahu kau gentayangan macam begini."
Hening.
Sepoi membelai rambut kecokelatan milik saya yang ikal. Gaun putih saya yang terseok tanah perlahan pudar digantikan bercak merah di area dada. Oh, mugkin saya melupakan satu fakta.
"Engkau tidak takut pada saya?"
─saya dikungkung kematian sebab ayah dan mamak saya.
Rest in peace,
Christalina Remyzhern
Banyuwangi, 1907
𝓼𝓮𝓵𝓮𝓼𝓪𝓲