Chapter DCLIV

2.7K 486 29
                                    

"Kau mengatakan, semua ini ulah Kaisar?" tukas Zeki, dia menoleh menatapku dengan matanya yang memerah.

Aku mengangguk, menekuk kedua kakiku lalu menyembunyikan wajahku di sana, "nyawaku terasa hilang begitu saja, saat mendengar apa yang terjadi ... Pikiranku rasanya kacau, memikirkan apa yang saat itu terjadi kepada Huri-"

"Apa yang bisa dilakukan oleh bayi sekecil dia?" sambungku bergumam lirih dengan masih enggan mengangkat pandangan.

Wajahku menatapnya saat kurasakan rangkulan di pundakku, turut kurasakan kecupan yang ia lakukan di keningku saat aku kembali menyandarkan wajah di tubuhnya, "semuanya akan baik-baik saja, kita pasti bisa melindunginya," ucap Zeki sambil ikut kurasakan usapan tangannya di lenganku.

Aku menjauhkan wajahku lalu mengangkat tangan mengusap mata, "kau pasti lelah, kan? Aku akan membawanya ke tenda," ucapku sembari duduk di hadapan mereka.

Zeki beranjak berdiri, diikuti sebelah tangannya meraih lalu menggenggam erat tanganku, "aku akan menggendongnya turun. Beranjaklah! Aku bisa melihat wajah lelahmu itu," ucapnya berbicara dengan sedikit menggerakan kepalanya.

Aku menarik napas, dengan ikut beranjak di depannya, "bagaimana keadaanmu?" tanyaku, sambil berjalan dengan merangkulkan tangan di lengannya.

"Aku sedang tidak baik-baik saja, karena aku merindukan istri dan anakku," balasnya dengan berbisik pelan, "bagaimana denganmu? Apa semuanya baik-baik saja?"

Aku mengangguk lalu menciumi lengannya yang aku rangkul, "Zeki, apa kau tahu jika di kehidupanku sebelumnya, aku memiliki kura-kura dan juga ular?"

"Kura-kura? Ular? Maksudmu seperti hewan-hewan milikmu itu?" tanyanya, aku kembali mengangguk membalas perkataannya, "entahlah, soalnya jika itu bersangkutan dengan hewan, kau seperti manusia yang tidak mempercayaiku ... Bahkan, saat aku mengetahui Kou dulu saja, itu karena aku tidak sengaja melihatmu bersamanya."

"Benarkah? Maafkan aku," jawabku singkat, sambil mengangkat tangan mengusap rambutnya, "lalu, apa benar jika dulu kakakku Izumi, mencintai Ebe?"

"Memangnya kenapa?" Dia balas bertanya dengan mengerutkan keningnya, "kakakku, menikahi Ebe. Jadinya, aku penasaran akan kisah cinta mereka-"

"Kau, sedang tidak mencoba untuk mempermainkanku, bukan?"

"Apa maksudmu?" Dengan cepat aku langsung menutup mulutku menggunakan telapak tangan, lalu menepuk pelan paha Huri di gendongan Zeki, saat dia sedikit menggeliat oleh suaraku yang sebelumnya sempat meninggi.

"Ini semua salahmu!" bisikku geram dengan memukul lengan Zeki.

"Bahkan, tanah yang kau pijak sekarang pun tahu siapa yang salah!" cibirnya, dia melebarkan pandangannya saat aku mencubit kuat punggungnya.

"Hanya katakan kepadaku, apa aku pernah menceritakan kisah cinta kakakku kepadamu dulu?"

"Menurutmu kenapa, aku meminta kepada si ikan agar tidak menyerah dulu? Kau ingat, bukan? Saat kita di kapal milik Aydin, aku berkata untuk jangan menyerah walau Izumi menolak hadiahnya."

"Kenapa seluruh anggota keluargamu itu bodoh akan cinta ... Tapi baguslah, jika Izumi lebih memilih untuk mendengarkan hatinya. Dengarkan aku baik-baik, penyebab kematian Izumi, bukanlah karena dia kalah dalam perang."

Langkahku berhenti, yang di mana membuatnya turut menghentikan langkah di sampingku, "apa lagi maksudnya ini?" gumamku dengan melirik ke sudut mata, berusaha menghindari tatapannya.

"Kau pasti tahu, bahwa kakakmu itu membebankan dirinya dengan tanggung jawab menikahi tunangannya. Orang yang dicintainya mati karena mengorbankan diri untuknya ... Dan karena dia tidak berniat menikahi Sasithorn, tapi di sisi lain dia ingin sekali melepaskan semua tanggung jawab. Menurutmu, apa jalan terbaik yang dia lakukan?"

Zeki menghela napas saat aku bergeming menatapnya, "jalan terbaik, adalah membiarkan musuh membunuh dirinya sendiri dalam perang. Keuntungan pertama, dia bisa lepas dari semua tanggung jawab, lalu pergi menyusul dia yang dicintainya. Keuntungan yang kedua, tak ada yang menyadari kalau yang ia lakukan adalah bunuh diri ... Yang keluarga, teman, kesatrianya tahu hanyalah, Pangeran Takaoka Izumi gugur dalam peperangan."

"Kata-kataku memang terdengar kejam, tapi itulah yang terjadi, karena ... Di malam hari, sebelum dia kehilangan nyawanya, dia memintaku untuk menjaga dan membahagiakanmu. Setidaknya, kau tidak perlu khawatir. Masa lalu dan sekarang sudah berubah."

"Darling, aku lapar ... Apa ada yang bisa aku makan?"

Aku mengembuskan napas dengan kembali merangkul lengannya, "aku tidak memasak apa pun, tapi Kak Luana berkata bahwa para perempuan sedang memasak makanan untuk para laki-laki. Aku, tidak bisa ikut membantu karena Huri tidak berhenti menangis sejak aku datang. Aku akan meminta sedikit makanan kepada mereka, apa itu tidak masalah untukmu?"

"Tidak apa-apa. Namun sebelum itu, sebelum kita mendekati mereka ... Berikan aku-"

"Tidak ada siapa pun di sini kecuali kita," sambung Zeki, saat mataku bergerak melirik ke sekitar.

Aku menarik napas lalu mengembuskannya pelan, sambil berjinjit di sampingnya. Mataku perlahan terpejam, saat wajah kami semakin mendekat satu sama lain. Aku membalas kecupannya yang semakin dalam menyentuh bibirku, diikuti jari-jemariku yang bergerak mengusap perutnya.

"Kita harus membawa Huri ke tenda," ucapku, sambil mengembuskan napas berkali-kali saat aku kembali menjauhkan wajah darinya.

"Baiklah. Tidur yang nyenyak, Putriku. Biarkan Ayah dan Ibumu, untuk merasakan kebahagiaan sejenak berdua."

Kedua kakiku, kembali berjalan mengikutinya dari belakang, "kata-kata apa yang kau ucapkan itu," ucapku, saat aku sudah berjalan di sampingnya.

"Suara hati suami sekaligus Ayah-"

Dia tertawa saat aku memukul lengannya ketika dia menghentikan kata-katanya, "di mana tendanya?" tanyanya, dengan melirik beberapa tenda kain yang dibangun di sekitar kami.

"Karena mereka tahu kau akan datang, Haru-nii meminta untuk membangunkan beberapa tenda lagi untuk kita dan juga Izu nii-chan. Di sebelah sini, tidak terlalu jauh dari tenda yang ditempati kak Luana," ucapku berjalan mendekati tenda kosong yang sebelumnya dibuat oleh Tsubaru dan yang lain.

"Luana?"

"Aku akan menjelaskannya nanti," sautku, sembari menyingkap tirai tenda lalu berjalan masuk.

"Baringkan dia di sini!" perintahku sambil membentang kain di hamparan rumput yang menjadi lantai.

Aku melepas sandal, lalu kembali merangkak mendekati Zeki yang telah membaringkannya. Kuambil kembali kain yang masih terlipat, lalu dengan perlahan meletakannya sebagai bantal untuk Huri terlelap. "Padahal di Istana, aku telah menyiapkan semua keperluan untuknya ... Aku bahkan, meminta mereka membuatkan tempat tidur yang paling nyaman untuknya," ucap Zeki, saat dia kembali merangkak mendekati, setelah sebelumnya dia melepaskan sandal yang ia kenakan.

"Bahkan di tempat terpencil saja, Naga Kaisar dapat menemukannya ... Apa lagi, di Kerajaan besar seperti Yadgar," sautku, sambil mengecup kening dan pipi Huri.

"Aku hanya ingin memberitahukanmu, sejak meninggalkan Yadgar, aku selalu berenang di lautan ... Bahkan untuk menyusuinya saja, aku membilas tubuhku, tapi itu hanya di bagian dadaku saja. Jadi, jangan terlalu memikirkan hal yang aneh-aneh," ucapku sambil membaringkan tubuh di samping Huri.

Lidahku berdecak saat dia mengatup rapat bibirnya menatapku, "baiklah, baiklah ... Mendekatlah!" perintahku, dia tersenyum sambil bergerak mendekat saat aku mengangkat kedua tanganku itu ke arahnya.

Our Queen : Memento MoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang