B. Delapan Belas - Berkunjung ke Tempat Yori

72 15 3
                                    

| Chapter 18 |

Caya melangkah maju sambil mengusak rambut. Yori yang sedang berdiri diam di tempatnya, dilewati Caya begitu saja. Sebelum melanjutkan aksi marah-marahnya, Caya lebih dulu menjatuhkan bokong di tepi tempat tidur. Lalu, meluruskan kedua kaki dan membunyikan sendi-sendi di jemari tangannya.

“Mau apa lagi lo ke sini?” tanya Caya, berusaha untuk tidak mengeluarkan amarahnya. Dia sudah lelah, tapi Yori malah muncul di kamarnya. Yori benar-benar cari masalah dengan Caya.

Yori membalikkan tubuh menghadap Caya. Sepasang iris terangnya menyorot sayu. “Maaf,” katanya dengan suara amat pelan. Sejenak ia terdiam dan menundukkan kepala. “Bukunya sudah aku kembalikan ke tempatnya. Tapi, aku hanya bisa mengembalikan buku itu, tidak dengan buku yang menjadi kasusmu.”

Mata Caya memicing. Setelah dilihat lebih jelas, wajah pemuda di depannya ini terlihat pucat. Sorot matanya pun tidak seperti biasanya. Dan lagi, sifatnya tidak seperti Yori pada biasanya—yang tentu saja selalu mengeluarkan kalimat-kalimat menyebalkan dan membuat orang lain kesal.

“Cayara, kau ingin melihat zamanku?”

“Apa?” Caya melongo atas pertanyaan itu.

“Itu tujuanku ke sini. Aku ingin mengajakmu untuk mengunjungi zamanku,” jelas Yori. Bibirnya melengkung ke atas, walaupun tidak sampai membuat matanya ikut tersenyum. “Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu, namun tidak bisa kubawa ke zaman ini. Kau yang harus ke zamanku untuk bisa melihatnya. Bagaimana? Kau mau?”

Sembari menunggu jawaban Caya, Yori ikut duduk di tepi tempat tidur. Beberapa kali ia memukul-mukul pelan keningnya. Sebenarnya Yori tidak ada niat untuk duduk di sebelah Caya, tapi kakinya sudah terlalu lemas menahan bobot tubuhnya sendiri.

Caya menoleh, menatap iris terang Yori dalam jarak yang lumayan dekat. Kenapa Yori ingin mengajaknya ke masa depan? Caya ingin menolak tawaran itu mentah-mentah, tetapi tidak jadi karena melihat wajah Yori yang seperti orang kurang gizi. Kasihan ‘kan kalau sifat bar-barnya dikeluarkan untuk pemuda itu.

“Lo udah makan belum?” tanya Caya. Pertanyaan yang terlontar sangat jauh dari topik yang sedang dibahas.

“Memangnya kenapa? Kau mau memberiku makan?” Yori balik bertanya, diiringi kekehan kecil.

“Sebentar.” Caya beranjak dan melangkah keluar kamar. Dia benar-benar akan memberi Yori makan. Melihat Yori yang tampak lemas seperti itu, membuat Caya agak kasihan. Caya tak tahu apa yang terjadi dengan pemuda itu, tapi mungkin memberinya makan bukanlah masalah besar. Toh, di rumah ada ini banyak makanan.

Ketika menuruni anak tangga, Caya masih menemukan Aka yang sedang mengomel tidak jelas pada karakter game-nya. Aka tidak akan berhenti main game kalau Mamanya belum pulang. Pipinya harus kena cubit dulu, baru Aka akan berhenti.

Caya membuka tudung saji di meja makan. Kosong. Lalu, makanan apa yang harus dipanaskan? Caya beralih ke dapur. Membuka-buka lemari kecil di dinding dan agak berjinjit untuk melihat isinya.

“Ka, di mana makanan yang harus gue panasin?” teriak Caya dari dapur.

Tidak ada sahutan. Yang terdengar malah suara tembakan secara beruntun dan teriakkan Aka.

“Woi, Caraka!”

“Habis!” balas Aka setelah berhasil membuat Caya naik pitam. “Gue lupa kalau makanannya tadi gue habisin. Lo goreng ayam yang ada di kulkas aja, Kak! Ada nugget juga! Ada mi instan juga! Terserah lo mau makan apa, yang penting gue udah kenyang—AWW!”

Baru saja, Caya melempar gelas plastik yang lumayan tebal dan kaku— yang untungnya langsung mengenai belakang kepala Aka. Aka melotot tajam ke arahnya sembari mengusap-usap kepala yang berdenyut. Dia ingin melempar balik gelas itu, namun panggilan dari teman yang bermain game bersamanya menyeru kencang.

The Lost History; S-156 [Book 2]✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang