Kirana tampak memandangi rintik hujan dari balik jendela dengan wajah sendunya. Awan kelabu di atas sana, seolah-olah turut merasakan dukanya. Sesekali ia menatap ke arah ruang ICU. Di sana, Pak Andar—ayahnya—terbaring tak berdaya. Ia hendak mengajak sang ayah untuk makan malam saat itu. Namun, justru menemukan lelaki paruh baya itu tengah memegangi dada dengan wajah meringis kesakitan. Kirana tak tahu apa penyebabnya.
Bukan hanya keadaan ayahnya yang menjadi pikiran Kirana saat ini. Perkataan yang terlontar dari mulut sang ayah sesaat setelah siuman tadi pun turut membebaninya. Sementara Dewa—suaminya—pergi tanpa berkata-kata setelah mendengar semuanya.
Kirana beranjak dari posisinya saat mendengar panggilan untuk keluarga pasien. Mendengar penjelasan dokter semakin membuatnya kalut. Di satu sisi ia begitu bersedih, tetapi di sisi lain juga kecewa pada sang ayah.
"Sus, titip ayah saya, ya. Saya ada perlu di luar. Kalau ada apa-apa tolong hubungi saya segera," ucap Kirana pada perawat yang berjaga malam itu. Ia menyerahkan kartu nama serta dua kantong makanan yang dibeli sebelumnya.
Setelah dokter mengatakan bahwa kondisi ayahnya sudah melewati masa kritis, Kirana bergegas menemui Dewa. Ia tak ingin masalahnya menjadi berlarut-larut.
💔💔💔
Kirana tiba di rumahnya tiga puluh menit kemudian. Ia terpaku sesaat di ambang pintu saat melihat apa yang dilakukan Dewa. Perlahan ia mendekat ke arah sang suami.
"Mas, mau ke mana? Kenapa pakaiannya dikemasi semua?" Kirana melontarkan pertanyaan yang sebenarnya ia tahu apa jawabannya.
Dewa menghela napas dalam sembari berkata, "Untuk sementara waktu, biarkan aku menjauh. Aku butuh waktu untuk berpikir, Rana."
"Tapi, Mas—"
Dewa membimbing Kirana duduk di tepi ranjang. Lalu, sedikit membungkukkan badan seraya memegangi bahu Kirana dengan kedua tangannya. Mata sipit lelaki itu menatap dalam wajah istrinya.
"Aku hanya pergi sebentar. Jangan khawatir, setelah kondisi ayah membaik dan diperbolehkan pulang, kita bicarakan lagi semuanya," ucap Dewa seolah-olah yang terjadi di antara keduanya bukanlah sebuah masalah. Meski hatinya pun sebenarnya sedang tak baik-baik saja.
"Aku pergi dulu. Jaga diri baik-baik, Rana," tuturnya lagi.
Wanita itu hanya mengangguk lemah. Selama ini, bagi Kirana, perkataan Dewa adalah titah yang harus dituruti. Ia menatap nanar punggung suaminya yang melangkah menjauh dan hilang dari balik pintu kamar.
Jemari lentik Kirana meraih bingkai foto yang tergeletak di atas nakas. Tangannya mengusap pelan gambar dua orang pengantin yang tersenyum semringah. Kemudian, ia merebahkan tubuhnya di petiduran, membawa bingkai ke dalam pelukan. Air matanya mulai menderas, ia mengkhawatirkan nasib pernikahannya dengan Dewa. Entah berapa lama pikirannya berkelana hingga akhirnya terlelap.
💔💔💔
Sinar matahari yang merangsek dari celah jendela kamar, mengembalikan kesadaran Dewa. Bersamaan dengan ponsel yang terus berdering sejak tadi. Semalaman tadi ia terjaga ditemani berbatang-batang nikotin dan baru terpejam usai salat Subuh. Reaksi Retno—mamanya—benar-benar di luar prediksi Dewa. Perempuan paruh baya yang selama ini bersikap lembut, tampak begitu murka saat mendengar cerita tentang Kirana. Terlebih ia memang tak begitu menyukai sang menantu sejak awal pernikahan.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 09.00 pagi. Dewa mengerjap perlahan dengan sebelah tangan memijat kepala yang terasa berat. Sementara tangannya yang bebas, meraba nakas mencari sumber suara. Ia mengusap layar ponselnya, tampak rentetan pesan dan panggilan suara.
Dua hari sudah ia tinggal terpisah dengan sang istri tanpa berkomunikasi sama sekali. Akan tetapi, pagi ini begitu banyak panggilan tak terjawab dari Kirana.
"Mas ... tolong segera datang ke rumah sakit kalau sudah membaca pesan ini. Penting."
Satu pesan yang dikirimkan Kirana cukup menandakan istrinya sedang tak baik-baik saja. Hatinya mendadak cemas dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Gegas ia menyibak selimut, lalu membersihkan diri. Setelah berpakaian rapi, ia menuruni tangga dengan tergesa.
"Dewa! Sarapan dulu!" seru Retno yang menangkap gelagat tak biasa sang anak.
"Dewa harus ke rumah sakit sekarang, Ma," jawab Dewa tanpa menghentikan langkahnya.
"Memangnya ada apa?" Retno masih mencecar putranya dengan pertanyaan.
Lelaki berparas Asia itu mengembuskan napas kasar, ia membalikkan tubuhnya, urung membuka pintu.
"Ayah sepertinya drop lagi. Kirana menelepon terus sejak semalam. Dewa mau lihat kondisi ayah." Ada nada khawatir dalam ucapan Dewa.
"Untuk apa lagi, Dewa? Kamu lupa mereka sudah membohongi kita?" Emosi Retno tersulut mendengar kedua nama ayah dan anak tersebut.
"Ma ... Kirana masih istri Dewa. Dia juga gak bersalah dalam hal ini. Dewa tahu Mama kecewa, tapi tolong biarkan Dewa bertemu Kirana saat ini. Dia butuh Dewa, Ma." Suaranya terdengar lirih.
"Baik, tapi kamu harus ingat kata-kata Mama kemarin!" ancam Retno.
"Dewa pergi dulu, Ma." Lelaki jangkung itu berpamitan seraya mencium tangan Retno dan mengucap salam, tanpa mengiyakan perkataannya.
Hampir satu jam menempuh perjalanan, Dewa tiba di pelataran rumah sakit. Namun, satu pesan baru yang dikirimkan Kirana membuat ia mengurungkan niat untuk memarkir kendaraannya. Gegas ia melajukan mobil dengan kecepatan tinggi.
💔💔💔
Assalamu'alaikum.
Hai, semua.
Kenalan dulu sama anak baru ini, ya. Aku bawa cerita bertema CLBK, project #Membatik bareng BukuBatik
Ini cerbung perdana yang aku buat, InsyaAllah bakalan tayang sampai 31 Maret 2021. Semoga suka, ya. Aku tunggu vote and comment-nya. Tengkyu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kali Kedua (Setelah Sewindu)
RomanceKirana Andaru harus menelan pil pahit saat Dewa-suaminya-memutuskan bercerai, tepat sesaat setelah kematian sang ayah. Fakta tentang siapa Kirana, memorak-porandakan rumah tangganya dengan Dewa. Kirana berubah seratus delapan puluh derajat. Perempua...