Delapan Belas: Yang Tidak Terelakkan

21 3 6
                                    

Balvier menggeram, memberontak dari dua algojo yang mengekangnya. Ia berseru penuh emosi, suaranya serak dan menyakitkan. Sosoknya tersembunyi di kegelapan petang, disinari lampu-lampu minyak yang tergantung di dinding. Kulit Balvier kemerahan, menghitam dilumur darah.

"Kita adalah kakak-adik!" emosi Balvier tidak terkendali. "Sanak saudara!"

Rauffe memandang balik adiknya dari singgasananya. Rambutnya terikat ke belakang, pirangnya memantulkan cahaya api. Dalam mata Balvier, sosok kakaknya tidak terlihat seperti manusia. Bukan karena kulit Rauffe yang sekarang terlihat sangat pucat, atau karena pandangannya yang dingin. Yang Rauffe lakukan padanya tidak termaafkan.

"Kita adalah Desmares," Rauffe berkata tenang. "Tapi aku masih akan memberikan kehormatan yang pantas untukmu. Dibanding membuatmu mati dan membusuk di dalam sel, pemenggalan kepalamu esok hari akan diadakan di tengah rakyatmu sendiri."

Balvier meludah pada wajah Rauffe. Algojo yang berdiri di sampingnya mengayunkan tongkat besinya, memukul punggung Balvier keras. Terhentak kasar ke lantai, Balvier menarik wajahnya untuk mendongak pada Rauffe.

"Kau sudah merencanakannya sejak awal, bukan, Rauffe?! Katakan padaku.... Katakan padaku!"

Rauffe menatap balik pada Balvier. Tangannya terangkat untuk menyeka wajahnya. Ia bangkit dari singgasananya, menginjak tangan Balvier yang terentang di atas lantai. Kedua ujung bibirnya terangkat membentuk sebuah senyum tipis.

"Kau baru menyadarinya sekarang?" kata Rauffe. "Bagian mana dari Ayahanda yang diturunkannya padamu? Kau tidak memiliki keagresifannya. Tidak juga kepintarannya. Tidak juga wibawanya. Anak dari ratu? Cih! Jika mereka berpikir itu membuatmu berhak mendapatkan warisan kekuasaan Ayahanda, maka aku akan mengambilnya. Apa yang seharusnya milikku!"

Tubuh Balvier bergetar di bawah kaki Rauffe. Sebuah tawa kecil keluar dari bibirnya. Berulang kali, membentuk rantaian ejekan yang menghina Rauffe.

"Jadi ini mengapa kau melakukan segalanya. Membuat perjanjian dengan Gondvana, mengetahui mereka akan meminta Lethia. Menculiknya dariku, agar aku menyerang mereka. Membiarkan Seginus membantuku, karena dengan begitu aku mendapatkan kepercayaan diri palsu untuk mengalahkan Aldebaran!" Balvier berseru serak. "Semuanya karena kau iri akan kekuasaan yang dilimpahkan padaku, karena aku adalah putra mahkota sejati!"

Rauffe menekuk lututnya dan menjambak rambut Balvier, menariknya ke atas. Darah yang mengumpul di kening Balvier mengalir turun ke ujung hidungnya sementara matanya dipaksa untuk saling memandang.

"Benar," Rauffe berkata. "Dibanding pangeran yang kembali dari Tethys babak belur, tidak sadar betapa mudah daerahnya direbutku dalam keadaan semacam itu.... Putra mahkota sejati atau bukan, aku lebih cocok untuk memimpin Assori."

Balvier memberontak, membuat algojo yang menahannya terdorong ke belakang. Ia menarik pedang pendek yang terselip di ikat pinggang algojo itu, menggenggamnya di tangannya yang terantai. Tapi kekangan tidak menghentikan Balvier untuk menerjang ke depan, siap untuk menikam Rauffe.

Beringsut mundur, Rauffe menghindari hujaman tikaman Balvier. Rauffe terjatuh ketika langkahnya terjerembab undakan tangga di belakangnya. Ia memejamkan matanya erat ketika Balvier meraung, tapi tidak ada tikaman yang ia dapat. Balvier terjatuh tidak jauh di hadapannya, kakinya masih terikat erat pada rantai yang kini ditarik oleh sang algojo.

"Aku akan membunuhmu, Rauffe!" Balvier berseru. "Aku bersumpah aku akan membunuhmu!"

Rauffe memandang balik pada Balvier dengan takut dalam bola matanya. Tangannya menopang dirinya untuk berdiri, yang lainnya menyapu rambutnya ke belakang sekali lagi. Algojo menarik tubuh Balvier menjauh, menyeretnya melintasi ruangan.

Lapis Lazuli (COMPLETE STORY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang