ii.vi. januari 2015: pelayaran semesta baru dan biru

115 24 42
                                    

Tidak banyak lembaran pada semesta yang bercerita tentang kita, atau tidak tahu kitanya saja yang melewatkan banyak senja saat dia pulang. Padahal, dari sekian juta persimpangan bisa saja kita bertemu lebih cepat dari seharusnya. Akan tetapi, entahlah kenapa jalan paling rumit selalu menjadi pilihan paling seru dan mendebarkan.

Saat itu, meski perahu sudah siap berlayar di dalam semesta yang baru, karena senyum dan kenangan, kita melupakan hal paling berharga bahwa tidak selamanya biru bisa ikut bersama kita dalam perjalanan. Kadang, angkasa murung dan benar-benar gelap. Kadang juga angkasa menangis dan marah menarik pasang dari tempatnya. Kita benar-benar misterius.

Siang ini, Naya dan Riska sedang berada di kafetaria kampus setelah menyelesaikan semua jadwal mata kuliah. Dunia masih pada pertengahan siangnnya. Sangat malas jika harus berpanas-panasan memaksakan kehendak yang sebenarnya sudah ingin pulang dari tadi.

"Nay, nanti bisa temani aku ketemuan sama Pak Hadi, nggak?" tanya Riska.

"Loh, kamu masih punya urusan sama dia, Ris? Udah mau uas loh ini, mau apa emangnya?" ucap Naya pun ikut bertanya.

"Hehe, aku punya satu tugas yang belum sempat kukerjakan, Nay. Makanya aku mau rayu-rayu dia biar dipermudah nanti."

"Dasar." Naya memutar bola mata malas. "Ya udah, ayo. Kapan, Ris?"

"Hari sabtu aja gimana, Nay? Seminggu sebelum uas, ya?"

"Boleh, deh."

"Ih, terbaik deh."

Sekarang sudah masuk bulan Januari. Bagi semua mahasiswa dan mahasiswi, Januari sudah seperti babak penentuan habisnya semester gasal. Setelah pulang dari Jogja, Naya tidak bisa banyak berleha-leha. Karena perjuangnya setengah tahun terakhir adalah untuk Januari.

Pun dengan Damara. Laki-laki itu menghilang entah kemana. Kemarin, selesai dari Jogja laki-laki itu tidak berkata apa-apa lagi. Memang aneh. Naya kira setelah satu hari di Jogja ia dibuat tersipu, setidaknya Damara akan menghubunginya melalui surel atau apa pun itu. Namun, ia tidak benar-benar melakukannya. Sial, bikin kesal saja.

"Oh iya, Nay. Bagaimana dengan Damara? Sudah jadi belum, Nay?"

"Jadi apa, Ris?"

"Jadian, gitu, jadian. Udah belum?"

"Apaan sih, Ris. Nggak mungkinlah. Lagian dia itu aneh, Ris. Setelah kemarin ngejar-ngejar aku, sekarang dia malah ngilang lagi."

"Eh, serius?"

"Serius."

"Kayaknya Damara emang suka tarik ulur, Nay," ujar Riska dengan kekehan kecil.

"Mungkin." Naya mengangkat kedua bahunya tak acuh.

"Tapi, apa kamu nggak masalah, Nay?"

"Masalah kenapa?"

"Gini, loh. Damara itu masih beneran asing buat kita. Nggak bisa dong dia seenaknya datang terus ngilang. Khususnya buat kamu. Masa, sih, kamu mau?"

"Ya bukannya mau, Ris. Tapi dianya yang kayaknya sengaja buat aku ada di posisi itu."

"Nggak ada kirim pesan atau apa gitu?"

"Nggak ada. Dia bahkan sama sekali nggak minta satu pun kontak punyaku. Aneh, kan?"

"Benar-benar aneh. Ada, ya, laki-laki yang kayak begitu."

"Ya itu Damara, Ris."

"Ah, kamu benar."

Naya dan Riska tertawa kecil. Semesta adalah dunia di mana datang dan hilang bisa tiba-tiba berdiri di hadapan manusia. Hal yang tabu bagi sepasang mata, tetapi entah bagaimana bisa nurani paham dan perasaan mencolos itu tersenyum begitu saja di hatinya.

andai, jikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang