Lima belas (End)

77 12 2
                                    

Sakata mengusap dahinya yang penuh dengan keringat, dia sangat kelelahan. Manik matanya masih belum bisa lepas dari Sou. Sakata harus memastikan terlebih dahulu, jika pemuda itu tidak akan menyerangnya lagi.

Sakata tersenyum kecil, ketika melihat Sou tidak sadarkan diri. Itu artinya dirinya berhasil mengalahkan pemuda itu.

Kini Sakata hanya tinggal menunggu Senra menyelesaikan pertarungannya. Sebenarnya dia ingin membantu, tapi kondisinya tidak memungkinkan. Jadi Sakata memutuskan untuk beristirahat sejenak, sambil memulihkan energi sihirnya yang terkuras banyak.

Baru saja Sakata ingin mengistirahatkan tubuhnya, dia di buat terkejut dengan tubuh Senra yang melayang terhempas kearahnya. Sakata dengan refleks menghindar, dan dengan sisa tenaganya, dia segera berlari menuju Senra.

Dilihatnya Senra meringis kecil akibat luka yang ada di permukaan kulit tangannya. Sakata terdiam, tidak tahu harus berbuat apa.

"Sakatan... nakuna! Aku baik-baik saja, hanya tergores sedikit. Kau istirahat saja dulu!'' Senra mulai kembali berdiri. Tangannya sedikit mengusap lembut pucuk kepala Sakata. "Aku pasti akan mengalahkannya. Setelah itu, kita selamatkan Urata-san bersama-sama.''

Sakata mengangguk lemah, matanya masih terfokus pada Senra.

Eve yang melihat adegan tersebut mulai merasa muak dengan dirinya. Kenapa dia harus melakukan hal ini? Tapi dia juga tidak bisa berhenti.

Ada kesenangan tersendiri saat dirinya berhasil mengalahkan orang yang lebih kuat darinya itu. Atau saat dirinya berhasil membuat lawannya itu mengaku kalah.

Eve tidak bisa menjelaskannya, mungkin saja lama-kelamaan sisi kemanusiaannya ini akan benar-benar menghilang.

___

Luz berhasil mengalahkan gadis bertudung itu. Dia dan Shima secepatnya menyusul Sakata dan Senra yang sudah lebih dulu memasuki ruang bawah tanah.

Sesampainya disana, Luz melihat Sakata dan Senra yang terluka. Kakinya dengan sendirinya berlari kearah mereka berdua.

Luz, menatap marah pada Eve dan Sou yang terlihat sedang mencoba untuk melindungi apa yang ada dibalik pintu.

Tanpa basa-basi lagi, Luz segera mengeluarkan kekuatan esnya kepada kakak beradik itu. Sehingga membuat kaki keduanya membeku dan tidak bisa digerakan.

"Tatteru ka?'' Luz mencoba membantu Sakata untuk berdiri. Sementara itu Shima membantu Senra untuk berdiri.

"Un, arigatou.''

Mereka berempat akhirnya pergi memasuki ruangan yang menjadi tempat Urata diculik.

Luz dengan cepat memakai sihirnya pada lelaki tua yang ada disana yang diyakininya sebagai si penculik. Lelaki tua itu tidak sempat menghindari sihir milik Luz, hingga akhirnya membuat tubuhnya tidak bisa bergerak karena sihir es yang membekukan kakinya.

"Kusoooo!! Kenapa jadi begini?'' Teriaknya mencoba melepaskan belenggu sihir itu dari kakinya. Namun semuanya sia-sia. Es itu tidak juga hancur ataupun meleleh sedikitpun.

Sakata, Shima, dan Senra segera berlari menghampiri Urata yang terbaring di sebuah batu besar yang dikelilingi cahaya lilin. Di batu itu juga tergambar sebuah lingkaran sihir yang terlihat asing bagi mereka bertiga.

Tangan Sakata mulai cekatan membuka ikatan tali yang mengikat kedua tangan dan kaki Urata. Begitupula dengan Shima dan Senra.

"Urata-san!'' Ketiganya memeluk Urata yang baru saja tersadar.

"Omaera...!'' Urata balas memeluk ketiga sahabatnya itu.

Urata melirik pada lelaki tua yang masih diam tidak berkutik. Urata sudah mengetahui sebagian besar apa yang terjadi pada dirinya, karena saat sedari tadi dia berpura-pura tertidur. Tadinya dia akan menggunakan kekuatan sihirnya itu untuk membantunya lepas dari sana. Tapi, ketiga temannya telah lebih dulu kesini menyelamatkannya. Urata sangat senang ketika mengetahui hal itu.

Akademi Sihir -Misi di Kota Kematian- [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang