Semesta sangat baik padaku. Aku tidak memahami maksud semesta mengenalkanku padanya. Seorang pria, yang sudah benar-benar aku tunggu sejak lama. Seorang pria yang mampu mengatasi buruknya diriku. Seorang pria yang bisa membuat aku mabuk kepayang dibuatnya. Sungguh aku sudah terlampau jatuh pada pria yang bagiku begitu tampan, oh kalian boleh saja tertawa. Aku tidak peduli, aku sudah jatuh benar benar jatuh padanya. Aku tidak bisa mendengarkan siapa pun. Aku hanya mendengarkan detak jantungku yang kian cepat saat mendengar namanya.
Rolando. Ya, dia pria itu. Tiap malam, dia selalu hadir dalam mimpiku. Sebab jauhnya tak bisa kuraih bahkan untuk kupeluk. Rinduku tersalurkan via ponsel cerdasku. Lewat suaranya aku merinding dalam balutan rindu. Lewat fotonya aku menggigil ingin memeluknya dalam ikatan rindu. Sungguh sangat lama tak ada perjumpaan di antara kita. Sesekali aku mengirimkan salam lewat gemuruh hujan, aku harap dia merasakan dinginnya kisah cinta ini. Tak lupa pula pada angin aku menitipkan sebait puisi rindu, aku harap dia merasakan damainya cinta ini lewat embusan angin yang menerpa wajahnya.
Arianna. Sebut saja aku Anna. Gadis yang sedang terperangkap dalam kisah cinta yang telah jarak pisahkan. Aku bahagia, bersama Rolando aku belajar banyak tentang sebuah hubungan. Tentang kepercayaan, tentang kesabaran, tentang rasa ikhlas dan juga banyak lagi. Aku mencintai Rolando sangat dalam. Aku juga merindukannya begitu banyak. Aku tidak pernah meragukannya. Dia selalu menepati janjinya. Dia juga pandai menenangkanku saat aku lepas kendali dalam merindu. Aku malu, cintaku begitu menggebu-gebu padanya. Sampai dia kewalahan menghadapiku saat aku bersikap keras kepala ingin menemuinya.
***
Minggu pagi ini, ditemani secangkir kopi pahit aku menangis dalam diam. Air mata ini begitu saja turun tanpa bisa kucegah. Pertengkaran tadi malam masih terngiang jelas di telingaku. Pertengkaran yang sangat hebat, yang selama satu tahun ini baru kali ini terjadi. Aku tidak tahu, apa Rolando sedang lelah atau bosan denganku. Dia tidak pernah membentakku. Dia selalu menasihatiku dengan caranya yang halus. Dia tidak pernah mengumpat atau pun memojokkanku. Tapi semalam dia sepertinya, ah tidak, tidak. Kumohon jangan pernah bosan mencintaiku.
“Berengsek!”
“Anna please, cinta tidak melulu soal rindu. Kau paham?”
“Setop bertingkah seperti anak kecil.”
“Aku lelah dengan sikap egoismu.”
Menyingkirlah dari otakku. Kenapa kata-kata Rolando masih terngiang jelas. Kata-kata itu sangat menusuk jantungku. Rolando, kau kenapa? Aku mohon jangan lelah menghadapiku. Jangan bosan mendengar kata rindu dariku. Maaf, maafkan aku, juga maafkan cintaku. Aku terlampau banyak mencintaimu.
“Berhentilah menangis, Anna.”
Batinku terus berteriak mencoba menghentikan air mata ini. Namun gagal, jantungku serasa berhenti sedetik, hatiku seperti tertusuk jarum tak kasat mata, dadaku sesak. Sesak sekali. Bagaimana mungkin aku bisa menghentikan tangisku saat seluruh jiwaku tersakiti.
Rolando, kenapa kau melakukan ini padaku?
Aku memujamu begitu bangga. Tapi kau menghancurkannya dalam puluhan detik. Kata-katamu menyinggung cintaku. Kau tahu besarnya cintaku, bukan? Tapi kau masih saja menyalahkanku dalam perkara rindu. Bukankah sudah sangat lama tak ada pertemuan di antara kita. Lalu kenapa? Kenapa kau marah saat aku memintamu untuk menemuiku. Kau pergi di awal tahun, lalu kenapa aku tidak bisa memintamu pulang di akhir tahun ini. Di penghujung waktu ini, bukan hanya aku yang merindukanmu. Tapi juga ibuku, ibuku terus saja menanyakan padaku kapan kau kembali?