Ilustrasi: Diunduh dari bingkaigambar.com
Siapa aku? Pertanyaan itu terus terngiang di benakku. Pertengkaran Mama dan Papa belakangan ini membuat hari-hariku terasa hambar. Ditambah lagi sikap Mama yang tiba-tiba berubah 180 derajat terhadapku. Tak ada lagi senyum di bibir merahnya untukku setiap pagi. Ada apa, sih?
"Ma?" sapaku saat Mama baru saja keluar dari kamarnya.
Namun, ia malah melengos begitu saja dari hadapanku. Tak acuh padaku yang mematung memandangi punggungnya, sampai ia hilang di balik pintu kamar mandi.
"Jangan hiraukan, Die..." ujar papa yang tiba-tiba muncul dan merangkul bahuku.
"Mama bersikap dingin, Pa. Ini tidak sama seperti biasanya..." kataku loyo. Aku melepaskan rangkulan papa dan meninggalkannya.
Aku kembali ke kamar.
***
Sikap Mama semakin aneh. Sejak bertengkar dengan Papa, sering kudapati ia menangis sendirian, di antara bunga-bunga kamboja yang ditanamnya di halaman belakang rumah. Tanaman yang tak boleh didekati oleh siapapun, termasuk aku.
Ia akan mengomel sepanjang hari jika mendapatiku bermain-main di sana, di sekitar barisan bunga-bunga berwarna merah muda ke ungu-unguan itu.
"Ma?" tegurku suatu hari.
Bukannya menjawabku, Mama malah memandangku dengan berang. Ia bangkit dari simpuhnya, tangannya mengepal.
"Ma!" teriakku gusar karena tak tahan melihat sikapnya yang seolah-olah ingin membunuhku.
"Die! Ayo masuk! Jangan hiraukan!" Papa menarikku ke dalam rumah, tapi aku berontak.
"Ada apa, sih, Pa?!" ujarku tak sabar.
Tiba-tiba Mama tertawa-tawa sendiri di antara bunga-bunga kamboja yang mengelilingnya.
"Ma?" Aku tak kuat menahan air mata saat melihat perempuan paruh baya itu, yang membesarkanku, seperti orang gila. Namun Papa terlanjur menyeretku ke dalam rumah. Padahal ingin kurengkuh tubuh Mama, mencoba menolongnya dari sesuatu yang tak kutahu...
***
"Dia bukan anakku! Itu masalahnya!" lengkingan Mama lagi-lagi membuatku terbangun di tengah malam buta.
Kulirik jam, pukul dua dinihari. Mataku panas. Berulang kali Mama mengucapakan kalimat yang sama, terutama ketika bertengkar dengan Papa hampir sebulan belakangan. Kusingkap selimut yang menutupi tubuh, aku muak dengan semua keributan yang begitu mengganggu ini.
Akan tetapi, sesuatu yang lain membuatku terkejut. Aku tak lagi bisa mendengarkan suara Papa dan Mama yang bertengkar. Tempat tidurku penuh dengan kelopak-kelopak kamboja, begitu juga di lantai.
"Papa! Mama!" jeritku dalam ketakutan dan tubuh gemetar. Aku tak bisa bergerak, bahkan sekadar bergeser. Padahal aku ingin segera berlari ke pintu.
Air mata berlomba di kedua pipiku, kurasakan selangkanganku menghangat. Sumpah! Aku benar-benar ketakutan. Suaraku tertahan di kerongkongan, sementara kelopak-kelopak kamboja semakin banyak beterbangan dari jendela dan memenuhi lantai kamar.
Aku tak kuat, kepalaku menjadi pening. Perlahan, pendengaranku kembali pulih. Sayup-sayup, Papa dan Mama kudengar masih bertengkar hebat, tapi tubuhku pasrah dan napasku satu-satu...
***
Buru-buru kuhentikan langkah Papa yang tampak menghindari saat melihatku keluar kamar.
"Pa! Tunggu, Pa!" teriakku.
"Jangan sekarang, Die!" ujar papa tanpa menghentikan langkahnya.
"Pa!" kuraih lengan Papa dan menariknya gusar.
"Papa mohon, Die!"
"Aku anak siapa, Pa?!" aku berteriak di hadapan Papa, memaksanya menatapku. Menatap tubuhku yang berantakan dan berbau pesing. Kejadian tadi malam bukan mimpi.
"Die?" bibir Papa bergetar, tangan besarnya membelai rambutku yang kusut. Beberapa kelopak kamboja tersangkut di sana.
Papa tiba-tiba menangis, giliran tubuhnya yang gemetar. Ia bersimpuh dan memeluk kedua kakiku.
"Kamu anak Papa, Dieka. Kamu anak Papa..." tangis Papa semakin keras, menimbulkan gema di dalam rumah kami.
"Tapi bukan anakku!" Mama berteriak dari lantai atas, wajahnya berang...
***
Aku shock! jantungku serasa ditikam. Pengakuan Papa dan Mama barusan, membuatku ingin mencakari wajah dua orang yang kini terduduk pasrah di hadapanku itu—seolah siap menerima hukuman dariku.
"Itu bohong, kan?" aku berusaha tersenyum.
"Maaf, Die... Maafkan kami..." Mama menggenggam tanganku.
"Kenapa tidak dari dulu, Ma? Papa? Kenapa tidak dari dulu Die diberi tahu... jika di dasar pohon-pohon kamboja itu... adalah jasad Mama kandung Dieka! Kenapa sekarang?! Kalian tega!" raungku tak karuan.
Hatiku kacau, aku tak kuat dengan suasana rumahku yang serasa semakin gerah.
***
Kutatapi bunga-bunga kamboja yang bermekaran indah di bawah sinar matahari senja. Air mataku sesekali melesat di kedua pipi, namun ada rasa hangat yang mengalir di dadaku. Atmosfer di sekitarku terasa sejuk.
Ah, Papa dan Mama baru saja diseret ke kantor polisi. Sedih juga. Walaupun bukan Mama kandungku, namun perempuan itulah yang membesarkanku selama ini, dengan rasa sayang tentu saja.
Ah, sayang sungguh sayang, ia tetap harus bertanggung jawab atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap Mama kandungku—beberapa hari setelah aku lahir. Pembunuhan yang dilakukannya berdua dengan Papa. Karena Mama kandungku hanyalah simpanan Papa. Ah, Mamaku....
Aku kebingungan ingin menyalahkan siapa. Mama kandungku yang mengatasnamakan cinta kepada Papa dan rela menjadi simpanan? Atau Papa yang seperti tak berakal malah memilih berselingkuh dengan Mama kandungku itu? Atau Mama angkatku, yang seperti tak mengerti cinta Mama kandungku kepada Papa?
Aku tak tahu apa-apa tentang rasa cemburu yang rupanya bisa menjadikan orang begitu kalap. Aku gagal memahami mengapa Papa juga tega menghabisi nyawa Mama kandungku yang disebutnya "aib". Bagaimana denganku? Tidakkah aku adalah aib besar dalam hidupnya? Semua kejadian ini rasanya menghantamku dengan cepat, tanpa ampun, dan usai dengan caranya sendiri. Membuatku pusing. Rumit!
Kelopak-kelopak kamboja yang bertebaran di kamarku setiap hari, selama sebulan terakhir, itulah yang membuat Mama ketakutan dan seperti orang gila. Ia merasa dihantui oleh masa lalunya. Bagaimanapun kehidupan kami saat ini, tetap tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa ia adalah seorang pembunuh.
Anehnya, aku baru menemukan dan melihat kelopak-kelopak kamboja itu di malam terakhir pertengkaran Mama dan Papa—sebelum mereka menyerahkan diri ke polisi. Ah, Tuhan dan dunia ini memang selalu punya cara sendiri untuk menghukum manusia.
Aku menarik nafas, segera beranjak menuju kamar mandi. Tubuhku masih menyisakan bau pesing semalam.
Selesai***
----------Catatan: cerita ini dibuat pada Desember 2014 dan sebelumnya pernah diunggah ke blog psikodyadic.blogspot.com pada Minggu, 14 Februari 2016, tanpa melalui proses editing.
Makassar, 30 Januari 2021
YOU ARE READING
Kelopak_kelopak Kamboja
Short StoryTuhan dan dunia ini memang selalu punya cara sendiri untuk menghukum manusia.