Mungkin kau menjaganya dengan baik.
Mungkin juga kau sudah merawatnya dengan hati-hati.
Mungkin pula kau sudah memeliharanya sepenuh hati.
Namun, ketika akhirnya yang terlewatkan baru tampak,
lalu yang terlewati menyisakan sesal,
jangan berkecil hati, sebab semua sudah ada jalannya.
Biarlah yang lalu tetap berlalu.
Biarlah yang lewat tetap lewat.(L.K)
🍁🍁🍁
Hiruk pikuk yang bisa menjadi benci ketika melihat semua berbuat sesuatu sementara kita hanya mampu menatap dari kejauhan. Namun, sakit hati paling dalam ketika melihat sebuah kesakitan, tetapi hanya pasrah yang bisa dilakukan.Menangis untuk melegakan diri, menangis untuk meluapkan emosi, menangis untuk melepaskan tanpa membebani. Setiap air mata itu pasti ada harganya. Bukan sekadar pemanis, bukan juga sekadar pelipur lara.
Saat kesempatan kedua sudah pernah menyapa, berarti Tuhan mempercayakan apa yang sudah diberikan pada umat-Nya. Adakah kesempatan ketiga, keempat, dan kelima? Ada, saat Tuhan sudah memainkan perannya,
Delano dan Ayah Awan duduk di kursi tunggu di depan kamar rawat si bungsu, Biru. Keduanya larut dalam lamunan masing-masing. Seperti kembali ke masa silam saat tiba-tiba Biru ditemukan tumbang tanpa ada seorang pun di sampingnya.
Mereka sengaja memberi kesempatan pada Ibu Dewi untuk menjaganya. Lagi-lagi, hati seorang ibu terasa teriris sembilu. Beliau adalah seorang dokter, tetapi untuk kedua kalinya dia kecolongan.
"Maafin Ibu yang nggak bisa jaga Adek dengan baik. Maafkan Ibu yang lagi-lagi lalai ngawasi Adek. Maafkan Ibu yang belum bisa jadi ibu terbaik buat Adek." Ibu Dewi Jelita tertunduk pasrah dengan air mata yang tidak berhenti mengalir.
Ibu dua anak itu tidak kuasa saat melihat si bungsu harus kembali terbaring di ranjang rumah sakit. Suara bedside monitor dan tangis sang ibu menjadi irama yang membuat Sabiru Anggara membuka matanya.
Sebelah tangan yang terbebas dari genggaman sang ibu bergerak dan mengusap air mata ibunya. "Jangan nangis lagi buat Adek, Bu. Air mata ibu harus disimpan sampai Adek bisa membuat ibu dan ayah menangis karena bahagia," ujar Biru lirih.
Bukannya mereda, tangis Ibu Dewi semakin menjadi. Dua lelaki di luar kamari berhamburan masuk karena khawatir sesuatu telah terjadi. Begitu melihat penghuni kamar itu membuka mata, kedua laki-laki itu mendekat dan berdiri di sisi ranjang.
"Sudah puas bikin Ibu nangis, Dek? Eh, Ayah juga nangis, sih," ucap Bang Lano dan langsung dihadiahi lirikan tajam dari sang ayah karena ucapannya itu.
"Kayak Abang nggak nangis aja. Paling kejer di antara kita bertiga." Ayah Awan membalas dan membuat Bang Lano tertunduk malu.
Suara dering telepon membuat keluarga itu terdiam. Ibu Dewi menjawab singkat panggilan telepon tersebut dan berpamitan karena ada panggilan mendadak untuk operasi.
"Istirahat dulu. Nanti Ibu kembali lagi. Jangan pecicilan dulu, Dek! Buat Ayah sama abang jangan gangguin anaknya Ibu. Jangan berisik, jangan ajakin Adek yang aneh-aneh." Sang ibu memperingatkan ketiga lelaki di ruang rawat tersebut.
Selepas kepergian sang Ibu, Ayah Awan menggantikan posisi dan duduk di kursi sebelah ranjang.
"Cepat atau lambat Adek harus tahu kondisi diri sendiri. Diagnosa awal, Adek serangan jantung karena kondisi yang sama seperti beberapa tahun lalu, adanya plak yang menyumbat arteri. Untuk lebih jelasnya harus ada pemeriksaan lanjutan. Adek mau 'kan?"
"Seperti dulu? Capek, Yah! Kalau misalnya benar ada plak, fungsi ring yang dipasang kemarin apa?"
"Tempatnya beda, Dek. Bukan di tempat yang sama. Kata dokter spesialis kemarin, itu semua pemicunya dari faktor genetik. Penimbunannya sudah lama, tapi lambat dan baru terasa lagi setelah yang dulu. Nanti lebih jelasnya biar Ibu saja yang kasih pengertian. Adek gitu kalau sama Ayah, suka nanya macem-macem."
KAMU SEDANG MEMBACA
Memiliki Kehilangan ✔
General FictionAku seorang Biru, berharap meneduhkan setiap yang melihatku. Jika kalian hitam, berhentilah sekarang. Apakah kalian tahu? Dasar hitam itu adalah putih. Maka kembalilah pada putihmu. Namun bagiku, kalian adalah jinggaku. Pemberi warna dalam hidup, pe...