Lionel tidak pernah menyukai Senin pagi, tapi ia juga tidak membecinya. Biasanya, Senin pagi bisa ia lewati dengan semangat hidup minimum dan tiba-tiba saja bel pelajaran terakhir sudah berbunyi. Namun, pagi ini berjalan lebih lambat dari yang ia harapkan. Buku sejarahnya terbuka pada halaman yang salah. Ocehan Pak Rian di depan tentang kejadian-kejadian yang memicu Perang Dunia tidak ia gubris sama sekali.
Tepat saat bel istirahat pertama berbunyi, Lionel mengembuskan napas lega. Ditutupnya buku cetak tebal itu dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya mengusap wajah dengan kasar.
Adam yang sudah memerhatikan tingkah laku Lionel dengan seksama sejak tadi gatal ingin berkomentar. "Ngg, Yo. Gue udah invite lo lagi ke grup, in case itu yang bikin lo kepikiran pagi ini," ucap Adam perlahan.
Lionel menoleh dengan alis terangkat. Sejurus kemudian, ia terkekeh pelan. "Dam, Dam, lo kira gue se-desperate itu buat gabung sama grup sialan itu lagi? Kagak! Gue baru mau masuk kalau si Prabu udah minta maaf."
"Oh," gumam Adam pelan. "T-tapi, Yo, kayaknya Prabu nggak ngerasa bersalah sama sekali, sih. Sebenernya ... gue diizinin invite lo lagi karena gue bilang lo nggak maksud apa-apa kemarin. Cuma ... salah paham."
Kata-kata Adam sukses menyentil emosi Lionel. "Gue? Nggak maksud apa-apa? Lah, I mean every fucking word I've said, Dam! Ah, elo, mah. Sekarang gue tanya, lo anggap kerjaannya Prabu nyebarin foto-foto skandal cewek itu normal, hah? Jadi bandar foto kayak gitu bisa dibanggain, iya?"
Adam memundurkan punggungnya lantaran Lionel semakin memelotot.
"Ngg-nggak, enggak normal, Yo," jawab Adam terpatah-patah.
"Then you fucking say it to them! Dukung gue, elah. Jangan malah jadi pussy dan bikin dia ngerasa makin di atas angin."
Lionel menggelengkan kepala melihat keadaan Adam di hadapannya. Bahunya melorot, tatapannya pias. Sejak kelas sepuluh, Adam memang bukan seseorang yang rela bertikai dengan orang lain, bahkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Lionel lah yang duluan merangkul Adam ke dalam lingkaran pertemanannya setelah melihat gitaris bertalenta itu tidak cukup berani meladeni senior-senior di klub band. Label 'teman Lionel' terbukti membuat Adam imun dari intimidasi kakak kelas. Memikirkan fakta itu sekarang, Lionel sadar bahwa ia berkorban sejauh itu karena tidak ingin Adam gagal menyalurkan passion gara-gara hal sepele.
"Kalau gue nanti nggak ada di samping lo lagi, lo bisa apa dah, Dam?" Lionel bertanya, tapi tidak benar-benar menginginkan sebuah jawaban.
Adam terkesiap. "Lo kayak orang sakit keras terus mau mati, anjir."
Lionel mengangkat bahu. "Ya kita semua emang mau mati, kan?"
"Maksud gue--"
"Back to our topic," potong Lionel, "lo yang sekarang gue tugasin buat ngasih Prabu ultimatum. Suruh dia yang minta maaf ke gue."
Adam mengangguk lemah. Lionel bisa menangkap keengganan menguar dari diri Adam, tapi kali ini ia bertekad untuk tidak lembek kepada teman sebangkunya itu.
"Eh, tapi, Yo ..."
Lionel menatap Adam penuh ketertarikan, terkejut mendengar Adam menyelanya lagi.
"Kalau bukan karena masalah Prabu ... lo mikir apa sampe pelajaran Sejarah nggak konsen kayak gitu?"
"Kapan gue pernah suka ngedengerin Pak Rian nyerocos tentang masa lalu?"
Adam berdecak. "Lo tahu maksud gue."
Tawa parau keluar dari mulut Lionel.
"Gimana caranya berdamai sama hati sendiri saat lo sadar ada kemungkinan punya perasaan lebih buat seorang cewek, Dam? Gue tahu lo bakal heran kenapa gue nggak make a move. The answer is simple: she is way out of my league. Yes, not even Melisa is at the same league with Adara, personality-wise."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Mismatch So Perfect [COMPLETED]
Teen FictionAdara dan Lionel ibarat kutub utara dan selatan. Mereka begitu berbeda, selayaknya dua keping puzzle yang tidak akan pernah cocok menyatu. Seharusnya, Lionel tetap menjadi lelaki tampan dan populer dengan dunia tak terjamah oleh Adara. Semestinya, A...