7. Persinggahan

1 0 0
                                    



Salju mungkin baru turun kemarin lusa. Udara kering musim dingin di jalanan licin berlapis es. Di Tokyo, salju tak pernah turun begitu lama. Saat pertama kali tiba di tempat ini, aku bahkan hanya melihat salju dua kali, itupun hanya bertahan selama beberapa hari.

Hari ke delapan di bulan Januari, kuil-kuil masih ramai dengan orang yang berdoa maupun meramal peruntungannya untuk satu tahun kedepan. Beberapa orang berjalan kaki menuju Kuil Shinto yang letaknya tak jauh dari pemberhentian terakhir, hanya perlu berjalan sedikit ke utara dan gapura kayu besar yang menjadi jalan masuknya sudah nampak di depan mata. Beberapa di antara mereka mengenakan kimono tebal dan tas mungil dengan tali di tangannya, di antaranya bahkan ada yang mengenakan geta, semacam sandal kayu khas Jepang yang biasa dikenakan dengan set pakaian tradisional. Beberapa yang lain datang dengan pakaian formal berlapis mantel tebal, menghalau kebekuan yang merambat bersama embusan angin di pertengahan musim dingin. Sisanya, ada yang menggunakan pakaian kasual. Meski begitu, mereka nampak berusaha keras untuk tampil serapi mungkin.

Taksi yang mengantarkanku berhenti beberapa meter dari pintu masuk restoran yang, hingga saat ini, masih begitu familiar di mataku. Tak banyak yang berubah setelah hampir dua tahun berlalu. Tidak untuk restoran ini, tidak juga dengan studio foto dekat pertigaan sana. Tidak dengan kenangannya.

Ada sesak yang menguar bersama aroma familiar yang tercium dari serambi restoran. Taman kecil di samping pintu depan sudah berganti dengan mesin penjual minuman. Pot besar dengan pohon yang masih setinggi pundak orang dewasa diletakkan di sampingnya. Tak banyak yang berubah, memang. Tapi tetap saja, setelah hampir dua tahun berlalu, mustahil mengharapkan semua tetap sama. Karena dunia tetap berputar, bahkan ketika waktuku berhenti.

Deru ringan mesin penghangat dan suasana tahun baru menyambut kedatanganku. Seorang pelayan perempuan mengantarku pada meja kosong. Walaupun interiornya sedikit berbeda, tata letak kursi dan meja masih sama seperti dua tahun lalu.

Saat pelayan yang mengantarku berhenti, sudut mataku melihat tembok di ujung ruangan yang kini dihiasi dengan foto-foto dan tanda tangan. Mataku menyipit, berusaha melihat lebih jelas.

"Ah, aku mau yang di sudut saja, apakah tidak apa-apa?" perempuan yang rambutnya dikuncir kuda itu mengangguk, berjalan beberapa langkah ke samping meja, mempersilakanku duduk di sana.

Atensiku tak beralih dari tembok yang bagian tengahnya dipenuhi oleh foto-foto polaroid dan beberapa tanda tangan yang dimasukkan dalam bingkai. Di antaranya, terdapat dua tanda tangan menarik perhatianku. Walau tak begitu mempelajari kanji, aku masih ingat beberapa di antaranya. Termasuk salah satunya yang tertulis di bawah tanda tangan itu.

'Hoshi'

Di antara ribuan nama yang ditulis dengan kanji 'bintang', mau tak mau aku memikirkan satu orang yang pernah mampir dalam perjalanan hidupku sebelumnya. Model laki-laki dengan sejuta karisma dan sahabat perempuannya. Dua manusia yang berjuang dengan mimpi mereka, menapaki tanah yang jauh dari kampung halaman dengan harap dalam genggaman. Mereka berdua, bagaimana kabarnya sekarang?

Melihatku yang berulang kali menatap dekorasi, pelayan itu menawariku dengan hati-hati.

"Apakah Anda ingin berfoto juga?" menoleh sekilas, kugelengkan kepalaku pelan. Bagian dari diriku merasakan waktu yang kujalani di Jepang saat ini dengan dua tahun lalu sebagai dua episode yang rumpang, terpisah tanpa jembatan yang kokoh menghubungkan keduanya. Dan kedatanganku ke sini adalah untuk merubahnya.

Pelayan itu pergi setelah mencatat pesanan. Dan dengan kebiasaan, yang kian terasa seperti kutukan, aku memesan kopi.

Untuk sejenak, kubiarkan diriku tenggelam bersama lalu-lalang di balik jendela kaca juga lirih obrolan di seberang meja. Atmosfer yang melarutkanku dalam carut marut perasaan yang, selalu saja, menarik jiwaku kembali pada tahun sebelum kepergianku dari tempat ini. Juga kenangan di dalamnya, yang seperti ditimpukkan ke dalam kepalaku setelah sekian tahun aku menahan semuanya.

Setelah ini apa? Berulang kali pertanyaan itu terlintas dalam kepalaku. Tapi lagi-lagi aku hanya menggeleng kecil, memberikan jawaban pada diriku sendiri. Belum saatnya. Kali ini, aku masih ingin membiarkan hatiku menentukan langkahnya.

Dengan menghubungkan ponsel pada jaringan wifi restoran, aku membuka media sosial yang baru kuaktifkan kembali pekan lalu saat masih di Indonesia. Di antara timbunan pesan tak terbaca, kubuka nama yang berada pada daftar teratas. Kuketikkan beberapa kata di sana, menghapusnya lagi, mengetik hal yang sama, menimbang berulang kali. Jariku menggantung di atas redup layar ponsel. Dan setelah tarikan napas berikutnya, kujatuhkan ibu jariku pada tanda panah. Pesan terkirim.

***



Hoshi : bintang

Hana ga Saku Toki [When the Flowers Bloom]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang