Hati atau Pikiran

2.3K 628 62
                                    

"Dan, aku gak mau pulang ke rumah bapak. Dia lagi sakit, kalau tahu aku begini beliau bisa anfal," mohon Ema.

Daniel masih fokus pada kemudinya. "Terus kamu mau ke mana? Balik ke rumah suami kamu? Aku gak izinin. Daripada gitu, lebih baik aku titipin kamu di kantor polisi," tegas Daniel.

Ema menggeleng. Ia tak kuasa jika harus melaporkan suaminya. "Anakku masih kecil, Dan. Siapa yang membiayai kalau ayahnya dipenjara. Biarin saja, aku kuat kok. Selama ini aku masih bisa tahan sama dia."

Daniel rasanya ingin melempar pria bejat itu ke danau. Sungguh pria tak tahu diri. Wanita di samping Daniel ini masih mau bertahan, tapi dia tak punya rasa kemanusiaan.

Akhirnya Daniel memilih pilihan terakhir. Ia sewakan kamar hotel untuk Ema. Asal malam ini baik Ema dan putranya bisa berlindung.

Malam itu sebelum pulang ke rumahnya, Daniel sempat berbincang dengan Ema. Paling tidak bisa memberikan wanita itu semangat.

"Dia sering begitu?" tanya Daniel.

Ema menggeleng, masih menutupi dosa suaminya. Mata Daniel tak rabun juga, ia bisa melihat lebam di tubuh Ema yang tidak tertutupi kain pakaian seperti lengan, betis, leher hingga wajah. Lebih miris, lebam seperti itu juga ada di tubuh Rio, anak Ema.

"Dengar, kamu itu seorang ibu. Apa kamu tega melihat anak kamu ikut disiksa? Soal rezeki, Allah sudah mengatur, Ma. Namun, anak kamu perlu lingkungan yang layak dan hidup yang tenang. Kamu apa gak lihat dia ketakutan saat ayahnya mengasari kamu?" nasehat Daniel.

Ema terdiam. Cukup lama wanita itu melamun seperti memikirkan banyak hal. Daniel tahu, Ema menyembunyikan kesulitannya.

"Aku gak akan maksa kamu untuk bicara. Kamu sudah dewasa. Kalau kamu memang ingin kembali dengan suami kamu, itu hak kamu. Hanya aku gak tega lihat anak kamu ikut disiksa. Maaf, lebih baik aku rebut dia dari kalian."

Ema tertegun. Ia menatap Daniel dengan mata basah. Tubuhnya gemetaran. "Suamiku bukan orang biasa, Dan. Aku takut dia menyakiti kamu. Orang tuanya orang yang berpengaruh."

"Aku gak peduli siapa dia. Hukum sekarang sudah mulai adil. Kalau dia salah, dia harus menebusnya."

Air mata Ema mengalir, menyusuri pipi hingga ke dagu dan ke leher. Bergantian cairan bening itu keluar memberitahu luka apa yang sudah tersimpan dalam hati pemiliknya.

"Makasih banyak. Aku gak tahu harus minta tolong pada siapa. Meski aku juga takut kamu terluka."

Sementar itu, jauh di sana Tiffany mulai gelisah. Ia beberapa kali mengirim pesan pada Daniel dan tak ada jawaban. Ponselnya juga tak aktif. Hatinya seakan dihempaskan ke langit dan terjun dalam sekali hentakan.

📨 Tif : Dan, km jd jmput aku gak? Aku msh di toko.

Chat itu ia kirim sejak tadi sore. Hingga sekarang belum juga dapat balasan. Tiffany melihat ke arah jendela sambil duduk di meja kosong tempat pelanggan di tokonya. "Kamu di mana, sih? Gak lupa sama aku, kan?" batin Tiffany.

Semakin lama semakin tak sabaran, ia memutuskan pulang dengan naik taksi. "Ti, aku pulang, ya? Daniel kayaknya masih sibuk," pamit Tiffany.

"Naik apa, Teh?" Tuti keluar dari kubikel tempat mesin kasir.

"Taksi saja, mumpung ada yang ngetem di depan," jawab Tiffany sambil mengambil tasnya dan berjalan keluar toko.

Ia panggil sopir taksi yang menunggu penumpang di seberang. Taksi itu tak lama memutar dan berhenti di pelataran parkir toko Tiffany. "Pak, ke supratman, ya?"

Begitu taksi meninggalkan parkiran, Tiffany lagi teringat Daniel. Ia takut pria itu datang menjemput tanpa tahu Tiffany sudah pulang lebih dulu.

📨Tif : Dan, aku pulang naik taksi. Gak perlu jmput. Nanti tlpon klo ada pa2

Pesannya masih ceklis satu. Tiffany lagi menarik napas panjang. Ia tak mau salah sangka meski temannya terus memperingatkan tentang Ema.

Daniel sendiri kaget bukan main melihat jam di tangannya sudah menunjukkan pukul sembilan akibat menenangkan Ema yang tak hentinya menangis. Rio juga sempat sulit tertidur jika saja Daniel tidak menggendong dan menimangnya.

"Ma, aku pulang dulu. Ini sudah malam. Gak baik kita berdua di kamar hotel begini meski ada Rio," pamit Daniel.

Ia keluar dari kamar, berlari di lorong ke parkiran. Daniel tentu ingat ia harus menjemput Tiffany di toko. Lumayan cepat ia pacu mobilnya. Hingga tiba di toko, Daniel keluar mobil dan berlari ke dalam.

Ia lihat Tuti tengah mengawasi pegawai yang sedang membereskan toko. "Ti, teteh mana?" tanya Daniel.

Tuti sendiri heran melihat Daniel baru tiba di toko. "Lha, sudah pulang naik taksi. Dari tadi nunggu Aa, lho. Emang gak kasih kabar?" tanya Tuti.

Daniel merogoh ponselnya. Ia tekan tombol kunci dan tak menyala benda itu. "Aduh, hapeku mati. Kenapa gak sadar?" keluh Daniel.

"Ya sudah, Ti. Nanti sampai di rumah aku telpon teteh. Makasih banyak," pamit Daniel sambil berlari keluar. Ia sempat menunduk menyesal di depan kemudi mobilnya.

"Maafin aku, Fan. Aku harap kamu ngerti keadaannya."

🍁🍁🍁

Sepatu Tanpa Pasangan (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang