37. Megalodon & Mosasaurus

60 12 18
                                    

Bang Ajun mengedipkan kedua matanya. Lalu kami bertiga serasa baru keluar dari danau sedalam tiga ratus meter, dan paru-paru kami baru mendapatkan kembali oksigen. Aku dan Tristan langsung terjengkang dan duduk dengan kedua tangan menjadi tumpuan. Dada kami bertiga turun naik, seperti baru saja berlari belasan kilometer. Namun bukan hawa panas yang kami rasakan, melainkan hawa dingin, juga keringat dingin yang membanjiri kepala dan tubuh.

"Abang, apa itu?" tanya Tristan dengan napas yang tersengal-sengal. "Aku merasa akan mati."

"Itu Aura Kematian, teknik terakhir dan tertinggi dari semua teknik Bela Diri Hamia Kuno," jawab Bang Ajun. "Penggunaannya menggunakan auranya sendiri untuk mengintimidasi lawan. Lawan bisa sampai mati jika aura yang dikeluarkannya seratus persen penuh——sebenarnya tergantung siapa lawan yang sedang kau hadapi, semakin kuat lawan yang sedang kau hadapi, maka semakin rendah juga efek mengintimidasinya. Dan teknik ini dilarang digunakan secara penuh oleh 25 Dewan Tertinggi Hamia, ketika melawan musuh dari jenis manusia."

25 Dewan Tertinggi Hamia. Aku pernah mendengar itu sebelumnya. Namun aku terlalu lelah untuk bertanya kepada Bang Ajun.

"Barusan, Abang menggunakannya, berapa persen?" tanya Tristan, napasnya masih tersengal-sengal. Sepertinya rasa keponya tidak mengerti apa itu lelah. "Aku kira, tujuh puluh lima persen."

Nova diam saja. Dia menunduk sambil menutup wajahnya sendiri dengan kedua tangan.

"Abang hanya menggunakannya dua puluh persen. Jika Abang menggunakannya sampai tujuh puluh lima persen, kalian pasti akan langsung pingsan, dan saat bangun nanti kalian akan gila karena cemas akan mati."

Menakutkan.

"Hebat." Senyuman miring Tristan kembali terlihat, seperti biasanya ketika dia sedang kagum. "Apa semua, manusia, bisa menguasainya juga?"

"Bisa, jika umur mereka bisa mencapai lima ratus tahun."

Sekarang aku tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempelajari teknik-teknik yang baru saja Bang Ajun peragakan. Lagipula teknik ini mungkin sangat hebat. Tadi katanya, teknik ini bisa digunakan sebagai pengganti kepemilikan untuk menyerang musuh, dan mungkin itu memang benar.

"Ayo cepat bangun, kita akan memulai latihan hari ini," katanya. "Jangan malas dan cengeng!"

Aku dan Tristan langsung mendongak menatapnya dan segera berdiri, Nova pun ikut melakukannya——rasa lelah kami tiba-tiba terbakar oleh api ketakutan. Suara Bang Ajun memang cocok untuk menjadi suara seorang pengajar di Perkemahan Tentara.

Pelajaran pun dimulai. Pertama, kami belajar membuat berbagai macam kuda-kuda. Ada kuda-kuda yang menempatkan tubuh sangat bawah, ada yang sedang, dan ada yang di atas. Ada yang harus membuka kaki sangat lebar, ada yang harus menempatkan kaki kanan atau kiri di depan maupun di belakang. Dan semua itu membuat paha juga betis sakit, setara dengan melakukan gerakan squat selama berjam-jam——jika latihannya begini terus, bokongku bisa terlihat sangat indah dan kencang.

Meskipun latihan kami hanya belajar membuat kuda-kuda, tapi keringat bercucuran di mana-mana, juga rasa lelah, kaki lemas, dan sebagiannya. Kami berhenti tepat ketika Febri dan Kak Gita datang dari sebuah portal, dengan membawa keranjang piknik rotan——makan siang kami.

Menu makan siang hari ini mungkin berjudul: Bali. Karena di meja bundar yang ada di hadapanku sudah tersaji ayam betutu, sate lilit, serombotan, bebek timbungan——sudah cukup, aku tidak ingin judulnya melenceng lagi. Makan siang kali cukup ramai. Tentu saja, Bang Ajun dan Febri ada di sini, membuat suasana panas dingin.

"Gebby, kau sengaja, kan, melakukan ini? Membuat Abang kesulitan?" tukas Bang Ajun sambil melirik Febri sekilas di samping kirinya, lalu menyuapkan makanan ke mulut.

Aran Alali #1: Hujan Darah IblisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang